Jumat, 21 Mei 2010

Pend. Moral

PENDIDIKAN MORAL: WAHANA MERAJUT GENERASI MUDA HARAPAN BANGSA
Oleh: Achmad Kusairi, SPd. (Guru MAN Jungcangcang Pamekasan)

Ultimate goal atau tujuan pamungkas dari semua model pendidikan, terlebih lagi pendidikan moral adalah untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan manusia bisa tercapai apabila ia mampu untuk mencapai kesempurnaannya dengan jalan menangkap sinyal-sinyal yang telah diberikan Tuhan di alam ini. Kesempurnaan manusia, dalam konteks ini, tidak didefinisikan berdasarkan kekuatan fisiknya, ketangkasan ataupun ketajamannya, tatapi ditentukan oleh akal atau rasionalitasnya. Betapapun kuatnya fisik atau ketangkasan, tanpa memperdulikan rasionalitasnya, maka manusia akan kehilangan ciri khas kemanusiaannya. Itulah sebabnya, manusia sering disebut sebagai hewan yang berakal (al-hayawan al-nathiq), sehingga apabila seseorang tidak mengembangkan akalnya, ia akan kembali ke tingkat hewan. Karenanya, rasionalitas telah menjadi identitas yang dilekatkan pada kemanusiaan. Rasionalitas merupakan substansi fundamental manusia, yang tanpanya, manusia akan kehilangan kemanusiaannya.
Bagaimana sebenarnya relevansi pendidikan moral dengan kebahagiaan tersebut. Dalam prakteknya, kebahagiaan manusia tercapai ketika manusia bisa merealisir potensi kebaikan yang ada pada dirinya, yakni ketika ia mampu mencerminkan al-akhlaq al-karimah. Ketika al-akhlaq al-karimah ini terpancar, maka kebahagiaan manusia yang sejati akan dirasakan. Patutlah kiranya jika dikatakan tujuan pendidikan akhlak adalah menghasilkan moral untuk diri kita yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan kita yang seluruhnya indah dan dalam waktu yang bersamaan dapat dilakukan oleh kita secara mudah tanpa kesulitan, seperti yang dikatakan ibn Miskawaih.
Langkah strategis untuk tahap-tahap pencapaian kebahagiaan terkait erat dengan karakter atau sifat dasar manusia itu sendiri. Sudah termaklumi bahwa kebahagiaan akan tercapai apabila kita dapat mencapai akhlak yang mulia, yang tentunya sesuai dengan misi Rasulullah saw. diutus Tuhan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Karakter manusia terdiri atas kumpulan sifat-sifat tertentu manusia yang bersumber pada tiga daya yang memiliki manusia: nafsu syahwat, nafsu amarah (ghadlabiyyah) dan nafsu rasional. Ketiga nafsu tersebut tidaklah buruk pada dirinya. Jika stasiun kendali terdapat pada akal, maka dari ketiga daya jiwa tersebut akan keluar sifat-sifat yang terpuji yang disebut keutamaan moral (fadha’il). Akan tetapi, apabila akal tidak bisa memposisikan diri sebagaimana dimaksud, maka dari ketiga daya jiwa tersebut akan muncul sifat-sifat yang tercela yang disebut kejahatan moral (radza’il), sehingga bisa juga memunculkan penyakit jiwa. Jelaslah bagi kita bahwa akhlak yang mulia merupakan kunci kebahagiaan manusia.
Pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan moralitas, pada usia muda akan lebih efektif dibandingkan dengan usia dewasa. Ada pepatah yang mengatakan bahwa belajar di waktu muda ibarat mengukir di atas batu, tetapi belajar sesudah dewasa ibarat mengukir di atas air. Pada usia remaja, dimana pertumbuhan fisik dan psikis sedang mengalami perkembangan yang pesat sekali, seorang anak akan mengalami goncangan-goncangan yang hebat dan bahkan disorientasi yang membingungkan akibat dorongan-dorongan dari daya-daya jiwa yang meletup-letup. Nafsu syahwat yang baru saja mencapai kematangannya tentu saja akan menimbulkan problem yang serius pada diri remaja. Dalam hal ini, bimbingan dari orang yang dewasa serta perhatian yang telaten sangat diperlukan. Karena tidak seperti orang dewasa yang nafsu yang rasionalnya telah berkembang dengan sempurna, pada usia remaja daya atau nafsu pada umumnya belum mencapai tingkat kematangan yang diharapkan, makanya bimbingan dan perhatian yang tulus baik dari guru maupun orang tua sangat dibutuhkan, terutama dengan keteladanan, sebab mengajarkan sesuatu melalui perbuatan nytata jauh lebih efektif ketimbang hanya dengan kata-kata (lisanul hal afshahu min lisanil maqal).
Pendidikan moral pada usia remaja tentu saja tidak boleh dilakukan secara parsial, melainkan secara integral. Menurut saya pendidikan pada usia remaja sekarang ini terlalu menekankan pada daya jiwa kognitif yakni yang berkaitan dengan nafsu rasional saja, tetapi kurang memperdulikan pembinaan moral bagi daya-daya jiwa yang lainnya seperti nafsu syahwat dan nafsu amarah. Akibatnya, kita dapat menghasilkan pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi kurang berani atau kehilangan rasa malu.
Oleh karena itu, untuk menciptakan pemuda yang berakhlak mulia, maka pembinaan moral harus diserahkan pada sistem pembinaan yang menyeluruh. Pembinaan terhadap daya rasional kognitif tentu saja sangat penting dan ini pada umumnya dapat diselenggarakan secara lebih efektif dalam lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti madarasah, sekolah maupun perguruan tinggi. Tetapi pembinaan moral terhadap daya-daya jiwa yang lainnya, seperti yang berkaitan dengan nafsu syahwat dan ghadlabiyyah - karena memerlukan keintiman dan kepercayaan pribadi dalam penyelenggaraannya - akan lebih efektif dilakukan dalam lingkungan-lingkungan informal, seperti organisasi sosial keagamaan (remaja masjid, forum silaturrahmi, penyuluhan, pengajian dan lain-lain) dan terutama lingkungan keluarganya sendiri.
Seorang pemuda tentu perlu dididik disiplin-disiplin rasional, tetapi ia juga perlu dididik sopan santun (adab) baik dalam soal pakaian, makanan, maupun dalam bertutur sapa. Ibn Miskawaih menekankan pentingnya menuntut ilmu-ilmu matematika, bukan saja untuk membina kecerdasannya, tetapi agar si pemuda tersebut terbiasa dengan kejujuran, mampu menanggung beban pikiran, menyukai kebenaran, menghindari perbuatan batil dan membenci kebohongan. Selain itu ia juga menganjurkan agar pemuda atau remaja ini juga mampu memilih teman yang cocok. Karena sekali mereka bergaul dengan orang-orang yang tidak berakhlak mulia, maka para pemuda akan dengan mudah mencontoh sifat-sifat yang tak terpuji dari mereka, padahal sekali noda melekat pada diri kita, tentu akan sulit sekali untuk menghilangkannya. Selain dari itu, para pemuda dianjurkan untuk mampu mengadakan koreksi diri atau intropeksi terhadap kekurangan-kekurangan yang melekat pada diri mereka dengan cara berkonsultasi dengan orang-orang yang dapat memberikan atau memainkan peranan yang utama. Pendidikan agama, contoh-contoh atau teladan yang baik dari pada senior mereka akan sangat efektif dalam rangka pembinaan moral remaja.
Jadi dalam sistem pembinaan moral yang integral dan terpadu ini, pembinaan diarahkan bukan hanya untuk menciptakan remaja-remaja yang cerdas, punya ingatan yang baik, berfikir jernih, dan punya pemahaman yang handal, dan lain-lain yang timbul dari nafsu rasional, dengan mengembangkan IQ (Intelegentia Question) atau ketajaman intelektual. Akan tetapi, pembinaan moral remaja juga harus diarahkan pada terciptanya sifat-sifat sederhana, punya rasa malu, tenang, sabar, dermawan, rasa puas (qana’ah), setia, optimis, anggun dan wara’, yakni keinginan untuk senantiasa berbuat baik sebagai sifat-sifat yang muncul dari nafsu syahwat dan juga terciptanya sifat-sifat berani, besar jiwa, ulet, tegar, tenang, tabah, menguasai diri dan ulet bekerja, seperti juga sifat dermawan, mementingkan orang lain, bergembira, berbakti dan sebagainya yang kesemuanya timbul dari nafsu amarah atau ghadlabiyyah , yang bisa dicapai dengan mengembangkan EQ (Emotional Question) atau ketajaman emosional yang terakumulasi dengan SQ (Spiritual Question) atau ketajaman spiritual.
Dalam pembinaan akhlak yang mulia seperti tersebut di atas, maka peran pendidik, orang tua, saudara dan rekan-rekan sebaya dari remaja kita akan sangat menentukan. Pengarahan atau bimbingan dan perhatian yang tulus dan tidak egois merupakan kunci keberhasilan dalam pembinaan tersebut, tentu saja di samping contoh teladan yang tidak dibuat-buat. Hanya apabila tercapai pembinaan moral dari berbagai aspeknya inilah maka akan tercipta suatu kebijakan paling utama yaitu keadilan, karena keadilan, menurut para pakar etika muslim, tercapai hanya apabila kebajikan-kebajikan yang muncul dari daya-daya jiwa manusia tercapai. Dengan tercapainya kebajikan utama ini, yakni keadilan, maka tujuan pembinaan moral - yaitu kebahagiaan - insya Allah akan terwujud. Perpaduan antara IQ, EQ dan SQ (Spiritual Question) atau ketajaman spiritual akan mengantarkan pada tujuan tersebut.

--------@@@@@--------
PENDIDIKAN MORAL: WAHANA MERAJUT GENERASI MUDA HARAPAN BANGSA
Oleh: Achmad Kusairi, SPd. (Guru MAN Jungcangcang Pamekasan)

Ultimate goal atau tujuan pamungkas dari semua model pendidikan, terlebih lagi pendidikan moral adalah untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan manusia bisa tercapai apabila ia mampu untuk mencapai kesempurnaannya dengan jalan menangkap sinyal-sinyal yang telah diberikan Tuhan di alam ini. Kesempurnaan manusia, dalam konteks ini, tidak didefinisikan berdasarkan kekuatan fisiknya, ketangkasan ataupun ketajamannya, tatapi ditentukan oleh akal atau rasionalitasnya. Betapapun kuatnya fisik atau ketangkasan, tanpa memperdulikan rasionalitasnya, maka manusia akan kehilangan ciri khas kemanusiaannya. Itulah sebabnya, manusia sering disebut sebagai hewan yang berakal (al-hayawan al-nathiq), sehingga apabila seseorang tidak mengembangkan akalnya, ia akan kembali ke tingkat hewan. Karenanya, rasionalitas telah menjadi identitas yang dilekatkan pada kemanusiaan. Rasionalitas merupakan substansi fundamental manusia, yang tanpanya, manusia akan kehilangan kemanusiaannya.
Bagaimana sebenarnya relevansi pendidikan moral dengan kebahagiaan tersebut. Dalam prakteknya, kebahagiaan manusia tercapai ketika manusia bisa merealisir potensi kebaikan yang ada pada dirinya, yakni ketika ia mampu mencerminkan al-akhlaq al-karimah. Ketika al-akhlaq al-karimah ini terpancar, maka kebahagiaan manusia yang sejati akan dirasakan. Patutlah kiranya jika dikatakan tujuan pendidikan akhlak adalah menghasilkan moral untuk diri kita yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan kita yang seluruhnya indah dan dalam waktu yang bersamaan dapat dilakukan oleh kita secara mudah tanpa kesulitan, seperti yang dikatakan ibn Miskawaih.
Langkah strategis untuk tahap-tahap pencapaian kebahagiaan terkait erat dengan karakter atau sifat dasar manusia itu sendiri. Sudah termaklumi bahwa kebahagiaan akan tercapai apabila kita dapat mencapai akhlak yang mulia, yang tentunya sesuai dengan misi Rasulullah saw. diutus Tuhan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Karakter manusia terdiri atas kumpulan sifat-sifat tertentu manusia yang bersumber pada tiga daya yang memiliki manusia: nafsu syahwat, nafsu amarah (ghadlabiyyah) dan nafsu rasional. Ketiga nafsu tersebut tidaklah buruk pada dirinya. Jika stasiun kendali terdapat pada akal, maka dari ketiga daya jiwa tersebut akan keluar sifat-sifat yang terpuji yang disebut keutamaan moral (fadha’il). Akan tetapi, apabila akal tidak bisa memposisikan diri sebagaimana dimaksud, maka dari ketiga daya jiwa tersebut akan muncul sifat-sifat yang tercela yang disebut kejahatan moral (radza’il), sehingga bisa juga memunculkan penyakit jiwa. Jelaslah bagi kita bahwa akhlak yang mulia merupakan kunci kebahagiaan manusia.
Pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan moralitas, pada usia muda akan lebih efektif dibandingkan dengan usia dewasa. Ada pepatah yang mengatakan bahwa belajar di waktu muda ibarat mengukir di atas batu, tetapi belajar sesudah dewasa ibarat mengukir di atas air. Pada usia remaja, dimana pertumbuhan fisik dan psikis sedang mengalami perkembangan yang pesat sekali, seorang anak akan mengalami goncangan-goncangan yang hebat dan bahkan disorientasi yang membingungkan akibat dorongan-dorongan dari daya-daya jiwa yang meletup-letup. Nafsu syahwat yang baru saja mencapai kematangannya tentu saja akan menimbulkan problem yang serius pada diri remaja. Dalam hal ini, bimbingan dari orang yang dewasa serta perhatian yang telaten sangat diperlukan. Karena tidak seperti orang dewasa yang nafsu yang rasionalnya telah berkembang dengan sempurna, pada usia remaja daya atau nafsu pada umumnya belum mencapai tingkat kematangan yang diharapkan, makanya bimbingan dan perhatian yang tulus baik dari guru maupun orang tua sangat dibutuhkan, terutama dengan keteladanan, sebab mengajarkan sesuatu melalui perbuatan nytata jauh lebih efektif ketimbang hanya dengan kata-kata (lisanul hal afshahu min lisanil maqal).
Pendidikan moral pada usia remaja tentu saja tidak boleh dilakukan secara parsial, melainkan secara integral. Menurut saya pendidikan pada usia remaja sekarang ini terlalu menekankan pada daya jiwa kognitif yakni yang berkaitan dengan nafsu rasional saja, tetapi kurang memperdulikan pembinaan moral bagi daya-daya jiwa yang lainnya seperti nafsu syahwat dan nafsu amarah. Akibatnya, kita dapat menghasilkan pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi kurang berani atau kehilangan rasa malu.
Oleh karena itu, untuk menciptakan pemuda yang berakhlak mulia, maka pembinaan moral harus diserahkan pada sistem pembinaan yang menyeluruh. Pembinaan terhadap daya rasional kognitif tentu saja sangat penting dan ini pada umumnya dapat diselenggarakan secara lebih efektif dalam lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti madarasah, sekolah maupun perguruan tinggi. Tetapi pembinaan moral terhadap daya-daya jiwa yang lainnya, seperti yang berkaitan dengan nafsu syahwat dan ghadlabiyyah - karena memerlukan keintiman dan kepercayaan pribadi dalam penyelenggaraannya - akan lebih efektif dilakukan dalam lingkungan-lingkungan informal, seperti organisasi sosial keagamaan (remaja masjid, forum silaturrahmi, penyuluhan, pengajian dan lain-lain) dan terutama lingkungan keluarganya sendiri.
Seorang pemuda tentu perlu dididik disiplin-disiplin rasional, tetapi ia juga perlu dididik sopan santun (adab) baik dalam soal pakaian, makanan, maupun dalam bertutur sapa. Ibn Miskawaih menekankan pentingnya menuntut ilmu-ilmu matematika, bukan saja untuk membina kecerdasannya, tetapi agar si pemuda tersebut terbiasa dengan kejujuran, mampu menanggung beban pikiran, menyukai kebenaran, menghindari perbuatan batil dan membenci kebohongan. Selain itu ia juga menganjurkan agar pemuda atau remaja ini juga mampu memilih teman yang cocok. Karena sekali mereka bergaul dengan orang-orang yang tidak berakhlak mulia, maka para pemuda akan dengan mudah mencontoh sifat-sifat yang tak terpuji dari mereka, padahal sekali noda melekat pada diri kita, tentu akan sulit sekali untuk menghilangkannya. Selain dari itu, para pemuda dianjurkan untuk mampu mengadakan koreksi diri atau intropeksi terhadap kekurangan-kekurangan yang melekat pada diri mereka dengan cara berkonsultasi dengan orang-orang yang dapat memberikan atau memainkan peranan yang utama. Pendidikan agama, contoh-contoh atau teladan yang baik dari pada senior mereka akan sangat efektif dalam rangka pembinaan moral remaja.
Jadi dalam sistem pembinaan moral yang integral dan terpadu ini, pembinaan diarahkan bukan hanya untuk menciptakan remaja-remaja yang cerdas, punya ingatan yang baik, berfikir jernih, dan punya pemahaman yang handal, dan lain-lain yang timbul dari nafsu rasional, dengan mengembangkan IQ (Intelegentia Question) atau ketajaman intelektual. Akan tetapi, pembinaan moral remaja juga harus diarahkan pada terciptanya sifat-sifat sederhana, punya rasa malu, tenang, sabar, dermawan, rasa puas (qana’ah), setia, optimis, anggun dan wara’, yakni keinginan untuk senantiasa berbuat baik sebagai sifat-sifat yang muncul dari nafsu syahwat dan juga terciptanya sifat-sifat berani, besar jiwa, ulet, tegar, tenang, tabah, menguasai diri dan ulet bekerja, seperti juga sifat dermawan, mementingkan orang lain, bergembira, berbakti dan sebagainya yang kesemuanya timbul dari nafsu amarah atau ghadlabiyyah , yang bisa dicapai dengan mengembangkan EQ (Emotional Question) atau ketajaman emosional yang terakumulasi dengan SQ (Spiritual Question) atau ketajaman spiritual.
Dalam pembinaan akhlak yang mulia seperti tersebut di atas, maka peran pendidik, orang tua, saudara dan rekan-rekan sebaya dari remaja kita akan sangat menentukan. Pengarahan atau bimbingan dan perhatian yang tulus dan tidak egois merupakan kunci keberhasilan dalam pembinaan tersebut, tentu saja di samping contoh teladan yang tidak dibuat-buat. Hanya apabila tercapai pembinaan moral dari berbagai aspeknya inilah maka akan tercipta suatu kebijakan paling utama yaitu keadilan, karena keadilan, menurut para pakar etika muslim, tercapai hanya apabila kebajikan-kebajikan yang muncul dari daya-daya jiwa manusia tercapai. Dengan tercapainya kebajikan utama ini, yakni keadilan, maka tujuan pembinaan moral - yaitu kebahagiaan - insya Allah akan terwujud. Perpaduan antara IQ, EQ dan SQ (Spiritual Question) atau ketajaman spiritual akan mengantarkan pada tujuan tersebut.

--------@@@@@--------

EPISTEMOLOGI ISLAM

EPISTEMOLOGI ISLAM
Oleh : Achmad Kusairi
(Guru MAN Jungcangcang Pamekasan)
Epistemologi dan pandangan hidup, seperti yang akan kita kaji nanti, memiliki kaitan yang sangat erat, sebab keduanya berada dan bekerja dalam pikiran manusia.Ia bahkan dapat digambarkan sebagai visious circle (lingkaran setan), atau dalam istilah lainnya tasalsul, di mana yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Kepercayaan terhadap pengetahuan tentang Tuhan, misalnya, membuat pengetahuan non-empiris menjadi possible (mungkin). Sebaliknya, menafikan pengetahuan non-empiris akan berimplikasi pada penolakan terhadap pengetahuan tentang Tuhan dan tentang hal-hal spiritual lainnya. Contoh serupa dapat terjadi pada kepercayaan mengenai sumber pengetahuan tentang moralitas. Percaya bahwa sumber pengetahuan moralitas hanyalah sebatas subyektivitas manusia berarti menolak sumber di luar itu, termasuk juga wahyu. Namun persoalan bagaimana epistemologi dan pandangan hidup sama-sama bekerja dalam pikiran manusia memang tidak sesederhana itu, akan tetapi hubungan antara keduanya dapat didemonstrasikan.
Dalam islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar islam yang telah terformulasikan dengan wahyu,hadith,akal,pengalaman dan intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam islam merupakan produk dari pemahaman(tafaqquh)terhadap wahyu yang memiliki konsep universal, permanen(thawabit) dan dinamis(mutaghayyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar (mutashabih), yang asasi (usul) dan yang tidak (furu'). Oleh sebab itu pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat secara dikhotomis;historis-normatif, tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif, dan lain-lain.. Wahyu, pertama kal-tama harus di fahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru.Realitas bangunan lonsep ini kemudian harus di jelaskandan ditafsirkan agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini. Karena bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting di dalamnya. Tak heran jika tradisi intelektual dalam peradaban islam dapat hidup dan berkembang secara progessif. Jadi peradaban islam itu bermula dari kegiatan tafaqquh terhadap wahyu yang kemudian berkembangtradisi intelektual dan akhirnya menjadi peradaban yang kokoh. Disitu pandangan hidaup atau worldview dan epistemologi sama-sama bekerja. Yang akan di buktikan dalam pembahasan ini adalah bahwa epistemologi islam lahir dan berkembang berasaskan pandangan hidup islam. Jika itu terbukti maka dapat dipostulasikan bahwa epistemologi islam hanya dapat di kembangkan dengan merujuk pada worldview islam. Selanjutnya makalah ini juga akan membuktikan kaitan konseptual antara keduanya dan karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertia dan konsep masing-masing.
Pengertian Umum Worldview
Secara awam worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup atau prinsip hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang mempunyai worldview masing-masing. Maka dari itu,jika worldview disosiasikan kepada sesuatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Esensi perbedaannya terletak pada faktor-fakordominan dalam pandangan hidup masing-masing yang boleh jadi berasal dari kebudayaan,filsafat, agama , kepercayaan, tata nilai sosial atau lainnya. Faktor- faktor itulah yang menentukan cara pandang dan sikap manusia yang bersangkutan terhadap apa yang terdapat dalam alam semesta, dan juga luas atausempitnya spektrum maknanya. Ada yang hanya terbatas pada kesini-sinian, ada yang terbatas pada dunia fisik, ada pula yang menjangjkau dunia metafisikaatau alam diluar kehidupan dunia.
Terma yang umum digunakan untuk memaknai pandangan hidup adalah wrldview(inggris),weltanschaaung atau weltan sicht(jerman), terkadang juga di sebut paradigma. Dalam pemikiran islam terma yang digunakan bermacam-macam seperti yaitu al tasawwur al islami (Sayyid Qutb), al- Mabda' al islami (Syakh atif al zain), Islami nazariyat(Al-Maududi),dan juga ru'yat al islam lil wujud (Syekh Mohammad naquib al attas) terkadang juga di pakai terma nazariyyat al islam li al-kawn. Untuk memudahkan artikulasi istilah ini, maka dalam diskursus ini, istilah world dipakai sebagai kata pinjaman, namun ketika ia diberi kata sifat islam maka kata itu telah mengalami perubahan definisinya.. Untuk memahami lebih jauh makna worldview akan di paparkan definisi-definisi worldview dari pakar-pakar berbagai bidang.
Ninian smart,, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview dalam konteks perubahan sosial dan moral. Worldview adalah "kepercayaan perasaan dan apa apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral." Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai "sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas dan tentang makna eksitensi. Dalam bidang yang sama Alparslan Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia termasuk aktifitas ilmiyah dan teknologi .Setiap aktivitas manusia akhirnya dapat di lacak pada pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat di reduksi ke dalam pandangan hidip itu. Ada tiga poin penting dari ketiga definisi diatas yaitu bahwa worldview adalah motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah. Dalam konteks sains, hakekat worldview dapat dikaitkan dengan konsep "perubahan paradigma" Thomas S Kuhn oleh Edwin Hung juga di anggap sebagai weltan schauung Revolution. Sebab paradigma menyediakan konsep nilai, standar- standar dan metodologi-metodologi, ringkasannya merupakan worldview dan framework konseptual yang di perlukan untuk kajian sains.
Namun dari ketiga definisi di atas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah tolok ukur untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari dua definisi terakhir menunjukkan bahwa worldview melibatkan aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitis penalaran manusia . lebih jauh tentang hakekat worldview dan sejalan dengan kajian kita saat ini berikut akan dipaparkan definisi worldview menurut para pemikir muslim.
Pengertian Worldview islam
Dalam tradisi islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum ada, meski tidak berarti bahwa para ulama tidak memiliki asas yang sistemik untuk memahami realitas. Para ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk pengertian worldview ini, meskipun berbeda antara satu dengan yang lain. Maulanu al Mawdudi mengistilahkannya dengan islam nazariat (Islamic Vision),Sayyid Qutb menggunakan istilah al Tasawwur al islami (islamic Vision), mohammad Atif al Zain yang menyebutnya dengan al mabda' al islami(Islamic principle), Prof Syyed naquib Al attas menamakannya Ru'yatul islam lil Wujud (islamic Worldview). Meskipun istilah yang di pakai berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut sepakat bahwa islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya umum dan netral. Artinya agama dan peradaban lain juga mempunyai Worldview, Vision ataau Mabda', Sehingga Al Mabda' juga dapat di pakai untuk cara pandang komunis Al Mabda' Al Syuyu'i, Western Worldview, Cristian Worldview, Hindu Worldview,dll. Di sini kata sifat islam , Barat, Kristen, Hindu dll, di gunakan untuk pembeda. Maka dari itu ketika sifat islam di letakkan di depan kata worldview, maka makna etimologis dan terminologis menjadi berubah. Penjelasan dari istilah berikut ini akan menunjukkan hal itu.
Istilah islami nazariyat (Islamic Vision) bagi Al Mawdudi berarti "pandangan hidup yang di mulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. SebabShahadah adalah pernyataan manusia yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh. Worldview dalam istilah Syakh Atif al Zayn adalah al Mabda' al islami yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal karena itu ia mengartikan mabda' sebagai aqidah fikriyah yaitu kepercayaan yang berdasarkan kepada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal. Sayyid Qutb memahami dari perspektif teologis dan juga metafisis mengartikannya dengan al tasawwur al islami, yang berarti sebagai " akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat di balik itu." S.M Naquib al attas mengartikan Worldview islam sebagai pandangan islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud, oleh karena apa yang di pancarkan islam adalah wujud yang total maka worldview islam berarti pandangan islam tentang wujud(ru'yat al islam lil wujud). Tidak seperti yang lain di sini al attas meletakkan islam sebagai subyek dan realitas atau wujud dalam pengertian yang luas sebagai obyek. Namun poin yang di tangkap dari definisi keempat tokoh di atas adalah bahwa pandangan hidup islam adalah pandangan islam tentang realitas dan kebenaran yang menjelaskan tentang hakekat wujud yang berakumulasi dalam akal pikiran dan memancar dalam seluruh kegiatan kehidupan umat islam di dunia.
Pandangan-pandangan diatas telah cukup baik menggambarkan karakter islaim sebagai suatu pandangan hidup yang membedakannya dengan pandangan hidup lain. Namun, kajian lebih lanjut terhadap pemikiran di balik definisi para ulama tersebut kita akan menunjukkan orientasi yang berbeda. Al Maududi lebih mengarahkan kepada kekuasaan politik. Syakh Atitf al Zain dan Sayyid Qutb lebih cenderung memahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional yang implikasinya adalah ideologi , meski Qutb menambahkan aspek metafisis. Naqub Al attas lebih cenderung kepada makna metafifsis dan epistemologis . Untuk lebih jelas tentang hakekat pandangan hidup berikut ini di ungkapkan pandangan mereka tentang elemen dan karakter worldview.
Elemen dan karakteriskik Worldview
Sebagai sebuah sistem yang secara definitif begitu jelas, worldview atau pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri yang di tentukan oleh beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang penyokongnya. Antara satu pandangan hidup dengan pandangan hidup lain berbeda karena berbeda elemennya dan karakteristiknya. Diantara karakteristik yang membedakan antara makna pandangan hidup islam dan barat adalah spektrum maknanya. Makna worldview dalam studi keagamaan modern (modern study of religion), misalnya, terbatas terhadap agama dan ideologi, termasuk ideologi sekuler, namun dalam islam makna worldview menjangkau makna pandangan islam terhadap hakekat dan kebenaran tentang alam semesta (ru'yat al islam lil al wujud). Ia tidak terbatas pandangan akal manusia terhahadap dunia fisik atau keterlibatan manusua di dalamnya dari segi historis , sosial, politik dan kultural....tapi mencakup aspek al dunya dan al akhiroh, dimana aspek aldunya harus terkait erat dan mendalam dengan aspek akhirat harus di letakkan sebagai aspek final." Demikian pula perbedaan definisi tentang worldview juga mempengaruhi penentuan elemen di dalamnya dan karakteristiknya.
Meskipun demikian dalam menentukan eleman yang menjadi asas bagi suatu worldview, para cendekiawan mempunyai beberapa kesamaam. Bagi Thomas Wall elemen pandangan hidup di tentukan oleh pemahamanindividu terhadap enam bidang pembahasan yaitu Tuhan,ilmu,realitas,diri,etika,masyarakat. Ninian smart juga menetapkan enam elemen worldview yang ia sebut sebagai dimensi agama :doktrin,mitologi, etika, ritus,pengalaman dan kemasyarakatan.Sementara itu Naquib Al attas menetapkan bahwa elemen asas bagi worldview islam adalah konsep tentang hakekat Tuhan, tentang wahyu (Al Qur'an ), tentang penciptaan, tentang hakekat kejiwaan, manusia, tentang ilmu, tentang agama,tentang kebebasan, tentang nilai dan kebajikan, tentang kebahagiaan. Dari ketiga pemikir tersebut sekurangnya kitabisa mengidentifikasi bahwa mereka hampir sepakatbahwa 5 elemen penting dalam worldview adalah konsep Tuhan, konsep realitas, konsep ilmu, konsep etika atau nilai dan kebajikan, konsep tentang diri manusia. Namun spektrum makna worldview Wall dan Smart menjadi terbatas ketika keduanya tidak menjadikan konsep wahyu, penciptaan, agama dan kebahagiaan sebagai elemen worldview seperti konsep Al attas. Disini Al Attas bahkan menekankan bahwa pandangan hidup berperan dalam cara menafsirkan apa makna kebenaran (truth ) dan realitas ( reality ) dan juga dalam menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel. Semuanya itu tergantung pada konsep metafisika masing- masing yang terbentuk oleh worldview. Di sini sekali lagi kita menangkap bahwa pandangan hidup lebih banyak berkaitandengan epistemologi daripada dengan ideologi. Lebih teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan nbahwa worldview islam adalah "visi tentang realitas dan kebenaran,berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non –observable ) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktivitas ilmiah dan teknologi. Untuk lebih jelas lagi Al attas bahkan membedakan secara diametris worldview islam dan barat seperti yang di tabulasikan di atas.
Proses Munculnya Worldview dan Ilmu Pengetahuan
Sebenarnya cara bagaimana seorang individu berproses memiliki pandangan hidup (worldview ) cukup beragam dan dengan keragaman proses tersebut berbeda-beda pula bentuk dan sifat worldview yang di hasilkannya. Proses pembentukan worldview hampir tidak beda dengan proses pencarian pengetahuan. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan dalam fikiran seseorang , baik priori maupun aposteriori, konsep-konsep serta sikap mental yang di kembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya. Bagi Wall akumulasi pengetahuan ia sebut epistomological beliefs itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan worldview kita, namun yang sangat menentukan terbentuknya worldview baginya adalah metaphysical belief. Bagi Alparslan worldview lahir dari adanya konsep-konsep yang mengkristal menjadi kerangka fikir ( mental framework ). Hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut : ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu terdiridari ide –ide , kepercayaan, aspirasi dan lain –lain yang kesemuanya itu membentuk totalitas konsep yang saling brkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan ( network ) dalam pikiran kita. Jaringan ini membentuk struktur berfikir yang koheren dan dapat di sebut suatu keseluruhan yang saling berhubungan "achitechtonik whole". Keseluruhan konsep yang salinh berhubungan inilah yang membentuk pandangan hidup seseorang. Dalam kasus islam, seperti yang akan di jelaskan nanti, pengetahuan yang membentuk totalitas konsep itu berasal dari ajaran agama islam.
Scara sosiologis prasyarat terbentuknya worldview bagi suatu bangsa atau masyarakat adalah konsep berfikir ( mental environment ), meskipun hal ini belum menjamin timbulnya tradisi intelektuald dan penyebaran ilmu di masyarakat. Untuk itu bangsa atau masyarakat itu memerlukan apa yang di sebut scientific conceptual scheme (kerangka konsep keilmuan ), yaitu konsep –konsep keilmuan yang dikembangkan oleh masyarakat itu secara ilmiah. Melihat kedua proses pembentukan dan pengembangan worldview yang seperti ini , maka worldview dapat dibagi menjadi natural worldview dan transparent worldview. Yang pertama terbentuk secara alami sedangkan tyang kedua terbentuk oleh suatu kesadaran berfikir saja. Dalam natural worldview disseminasi ilmu pengetahuan biasanya terjadi dengan cara- cara ilmiah dalam kerangka konsep keilmuan ( scientific conceptual schemes ) yaitu suatu mekanisme canggih yang mampu melahirkan pandangan hidup ilmiah ( scientific worldview ). Berbeda dari natural worldview transparent worldview lahir tidak melalui kerangka konsep keilmuan yang terbentuk dalam masyarakat, meskipun substansinya bersifat ilmiah.
Transparent worldview lebih sesuai untuk sebutan bagi pandangan hidupIslam. Sebab pandangan hidup islam tidak bermula dari adanyasuatu masyarakat ilmiah yang mempunyai mekanisme yang canggih bagi menghasilkan pengetahuan ilmiah. Pandangan hidup islam di canangkan oleh Nabi di Mekkah lalu paenyampaian wahyu- wahyu Allah dengan cara yang khas. Setiap kali Nabi menerima wahyu yang berupa ayat –ayat Al Qur'an, beliau menjelaskan dan menyebarkannya dengan cara – cara yang ada pada scientific worldview , dan oleh sebab itu maka Prof. Alparslan menamakanworldview islam sebagai " quasi – scientific worldview.
Proses pembentukan pandangan hidup melalui penyebaran ilmu pengetahuan di atas akan lebih jelas lagi jika kita lihat dari pembentukan – pembentukan elemen pokok yang merupakan bagian dari struktur pandangan hidupp itu serta fungsi di dalamnya. Seperti yang di jelaskan di atas bahwa pandangan hidup di bentuk oleh jaringan berfikir ( mental network ) yang berupa keseluruhan yang saling berhubungan (archithectonic whole ). Namun ia tidak mempresentasikan suatu totalitas konsep dalam pikiran kita. Ketika akal seseorang menerima ilmu pengetahuan tertentu di terima dan pengetahuan yang lain di tolak. Pengetahuanyang di terima oleh akal kita akan menjadibagian dari struktur worldview yang kita miliki. Struktur worldview hampir serupa dengan elemen worldview dan di sini terdapat sedikitnya lima bagian penting yaitu: 1)struktur tentang kehidupan,2)tentang dunia,3)tentang manusia,4)tentang nilai dan 5) struktur tentang pengetahuan. Proses terbentuknya struktur tentang worldview ini bermula dari struktur tentang kehidupan , yang di dalamnya termasuk cara –cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari –hari, sikap – sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya. Struktur tentang dunia adalah konsepsi tentang dunia dimana manusia hidup. Struktur tentang ilmu pengetahuan adalah merupakan pengembangan dari struktur dunia ( dalam transparent worldview ). Gabungan dari struktur kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan struktur nilai, dimana konsep – konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu terbentuk dalam pandangan hidup seseorang secara transparent, maka struktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.
Meskipun proses akumulasi kelima struktur diatas dalam pikiran seseorang tidak selalu berurutan seperti yang di sebut di atas, tapi yang perlu di catat bahwa kelima struktur itu pada akhirnya menjadi kesatuan konseptual yang berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum ( general scheme ) dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, tapi juga mendominasi cara berpikir kita . Di sini dalam konteks lahirnya ilmu pengetahuan di masyarakat, struktur pengetahuan merupakan asas utama dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep apapun yang di hasilkan oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu akan merupakan refleksi dari struktur –struktur di atas.
Teori ini berlaku secara umum terhadap semua kebudayaan dan dapat menjadi landasan yang valid dalam menggambarkan timbul dan berkembangnya pandangan hidup manapun,termasuk pandangan hidup islam. Berarti, kegiatan keilmuan apapun baik dalam kehidupan dunia barat, timur maupun peradaban islam dapat di telusuri dari pandangan hidup masing – masing.
Worldview dan Lahirnya Ilmu dalam Islam
Lahirnya ilmu dalam islam di dahului oleh adanya tradisi intelektual yang tidak lepas dari lahirnya worldview islam sendiri, sedangkan kelahiran worldview islam tidak lepas dari kandungan Al Qur'an dan penjelasannya dari Nabi. Jadi jika kelahiran ilmu dalam islam di bagi secara periodik maka urutannya terdiri dari : 1) Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup islam ,2) Adanya struktur ilmu pengetahuan dalam AlQur'an dan Al Hadits dan 3.) Lahirnya tradisi ilmu keilmuan islam dan 4). Lahirnya disiplin ilmu – ilmu islam.
Periode pertama turunnya wahyu harus di lacak dari periode Makkah dan Madinah. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, perode Makkah adalah periode pembentukan struktur kongsep dunia dan akhirat sekaligus, seperti konsep – konsep tentang Tuhan dan lkeimanan kepada – Nya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, , hari pembalasan, baik dan buruk, konsep ilm, nubuwwah,din, ibadah dan lain – lain . Pada periode Makkah inilah terbentuk struktur konsep tentang dunia ( world structure ) baru yang merupakan elemen penting dalam pandangan hidup islam. Periode Madinah adalah periode konfigurasi struktur ilmu pengetahuan , yang berperan penting dalam konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup islam. Pada periode ini wahyu banyak mengandung tema – tema umum yang merupakan ritual dalam peribadatan, rukun islam, sistenm hukum yang mengatur hubungan antara individu, keluarga dan masyarakat, termasuk hukum –hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan muslimdengan umat beragama lain, dan sebagainya. Secara umum dapat di katakan sebagai tema- tema yang berkaitandengan kehidupan komunitas muslim. Meskipun begitu, tema- terma ini tidak terlepas dari tema wahyu yang di turunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema- tema wahyu di Makkah masuih terus di diskusikan.
Periode ke dua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan di jelaskan Nabi itu telah mengandung struktur fundamental scientific worldview , seperti struktur tentang kehidupan ( life structure ), struktur tentang dunia , tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah istilah konseptual yang terdapat dalam wahyu seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir ta'wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain –lain mulai di fahami secara intens. Konsep – konsep ini telah memadahi untuk di anggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan( pre scientificconceptual scheme ), yang juga berarti lahirnya elemen – elemen epistemologis yang mendasar. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran ummat islam saat itu yang berarti menandakan munculnya "struktur ilmu" dalam pandangan hidup islam, meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.
Atas dasar framewrk ini maka dapat di klaim bahwa embrio ilmu ( sains ) dan pengetahuan ilmiah dalam islam adalah struktur keilmuan dalam worldview islam yang terdapat dalam Al Qur'an,Hal ini bertentangan secara deiametris dengan klaim para penulis sejarah islam kawasan dari Barat, seperti De boer, eugene Myers Alfrenn Guilimanue, O'Leary, dan banyak lagi yang menganggap sainsdalam islam tidak ada asal usulnya . Seakan akan tidak ada sesuatu apapun yang berasal dari dan disumbangkan oleh islam kecuali pentetrjemahan karya – karya Yunani. Framework seperti ini di ikuti oleh penulis modern seperti Radakhrisnan, Majid Fakhry, W montgomery Wattdan lain-lain.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam islam, periode ini merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Seperti biasa karena suatu tradisi selalu melibatkan masyarakat maka tradisi keilmuan dalam islam, seperti yang akan di tunjukkan nanti, juga melibatkan komunitas keilmuan. Komunitas inilah yang kemudian melahirkan kerangka konsep keilmuan islam ( islamic scientific conceptual schemes) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu. Bukti adanya masyarakat ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuwan dalam islam adalah berdirinya kelompok belajar atau sekolah Ashab al shuffah di Madinah. Di sini kandungan wahyu – wahyu dan hadist –hadist Nabi di kaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif.Meski materinya masih sederhana tapi karena objek kajiannya tetap berpusat pada wahyu , yang betul – betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat di samakan dengan materi diskusi spekulatif di lonia, yang menurut orang barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual yunani dan bahkan kbudayaan barat( the cradle of western civilization ). Yang jelas ashab al suffah adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar mengajar dalam islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam islam . Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni – alumni yang menjadi pakar dalam hadist Nabi , seperi misalnya Abu Hurairah, Abu Dzarr al Ghiffari, Salman al Farisi, Abdullah Abn Mas'ud dan lain lain.Ribuan hadits telah berhasil di rekam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadist ini di lanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul Ilmuwan –Ilmuwan yang terkenal dalamberbagai bidang studi keagamaan seperti misalnya Qadi Surayh ( d.80/ 699), Muhammad Ibn al Hanafiyyah ( d.81/700), Ma'bad al Juhanni (d.84/703, Umar bin abd aziz (d.102/720) Wahb Ibn Munabbih ( d.110,114 /719,723), Hasan al Basri(d 110 /728)Ghaylan al dimasqi(d.c 123/740) Ja'far al sadiq(d 148/765), Abu Hanifah(d. 160/767, Malik Ibn Annas( d 179 /796), Abu yusuf( d 182/799),Al Shafii( 204/ 819) dan lain lain.
Framework yang di pakai pada awal lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan islam ( Islamic scientifif conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka adanya konseptual ini adalah usaha- usaha para ilmuan untuk menemukan beberapa istilah teknis keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah – istilah yang di revasi dari kosakata Al Qur'an dan Hadist Nabi termasuk di antaranya ilm, fiqh, usul, ijtihad, ijma', qiyas, aql, idrak, wahm, tadabbur, tafaqqur, hikmah, yakin,wahy, tafsir,ta'wir, 'lam , kalam, nutq, zann, haqq,batil, haqiqah, 'adam , wujud, sababb, khalq, khulq, dahr, sharmad, zaman, azal, abad, fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr, halal, haram, wajib, mumkin, iradah, dan lain sebagainya , menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.
Dari keseluruhan istilah teknis tersebut istilah 'ilm, yang berulang kali di sebut dalam berbagai ayat al-Qur'an, adalah istilah sentral yang berkaitan dengan keeluruhan kegiatan belajar mengajar. Istilah 'ilm itu sejatinya adalah ilmu pengatahuan wahyu itu sendiri atau sesuatu yang di derivasi dari wahyu atau yang berkaitan dengan wahyu, meskipun kemudian di pakai untuk pengertian yang lebih luas dan mencakup pengetahuan manusia. Istilah kedua yang juga sangat sentral adalah istilah fiqh, yang dalam AlQur'an ( 9:122) menggambarkan kegiatan pemahaman terhadap din, termasuk pemahaman Al Qur'an dan Al Hadith, yang keduanya di sebut 'ilm. Jadi 'Ilm dan Fiqh berkaitan erat sekali.
Perlu di catat bahwa meskipun wahyu telah di jelaskan oleh nabi, namun i sana masih terdapat beberapa masalah yang terbuka untuk di pahami secara rasional yang dalam tradisi islam di sebut ra'y. Jadi Fiqh( tafqquh) pada periode ini, bukn dalampengertian hukum adalahkegiatan ilmiah untuk mempelajari ajaran agama islam ( tafqquh fi al- din ) dari sumber wahyu. Dalam kegiatan ini ummat islam telah memilikin metode tersendiri dalam memahami wahyu baik dengan memahami makna ayat demi ayat, membandingkan suatu ayat dengan ayat lain, menafsirkan ayat dengan hadith ataupun memahami ayat dengan ra'y. Dengan adanya metode dan obyek materi yang khusus Fiqh sudah dapat di katakan sebagai ilmu. Karena luasnya obyek materi yang di bahas maka Fiqh, pada periode awal islam dapat di anggap sebagai induk dari segala ilmu dalam Islam, yang daripadanya kemudian lahir berbagai disiplin ilmu yang lain. Jelaslah sudah bahwa worldview islam terbukti telah melahirkan tradisi intelektual yang berpotensi untuk melahirkan berbagai disiplin ilmu. Oleh sebab itu akan di jelaskan bagaimana tradisi tersebut dapat melahirkan epistemologi dan bahkan disiplin ilmu.
Worldview dan Tahap - Tahap Kelahiran Ilmu dalam Islam
Sebelum di paparkan bagaimana proses suatu ilmu itu lahir dalam tradisi intelektual islam, perlu di tegaskan bahwa ilmu dalam islam dan dalam tradisi manapuntidak lahir secara tiba – tiba. Seperti di jelaskan di atas fondasi bagi lahirnya suatu disiplin ilmu adalah worldview yang memiliki konsep keilmuan. Worldview ilmiyah ini kemudian menghasilkan tradisi intelektual ( tradisi ilmiah )dalam masyarakat dan selanjutnya lahirlah suatu disiplin ilmu.Dalam hal ini Prof. Alparslan membagi 3 tahap terbentuknya suatu disiplin ilmu:
1) Tahap problematik, (problematik stage) yaitu tahap dimana berbagai problem subyek kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu. Ini berlaku untuk beberapa lama.
2) Tahap disipliner, (dislipliner stage) yaitu tahap dimana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan ditentukan sesuai dengan bidang masing-masing.
3) Tahap panamaan, (naming stage) pada tahap ini bidang yang memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.
Untuk mengaplikasikan tiga tahap teori terbentuknya disiplin ilmudalam islam kita akan menelusuri tahap-tahap awal bagi munculnya munculnya disiplin ilmu dalam Islam. Untuk itu akan kita telusuri lahirnya ilmu kalam.
Sejarah Kelahiran Ilmu Kalam
Jika proses kelahiran kalam di telusur lebih jauh dari sejak tahap problematik, akan di temukan juga kaitannya dengan Fiqh. Sesungguhnya pemikiran spekulatif di kalangan umat islam periode awal di dorong oleh masalah politik, yakni dalam menentukan pengganti ( khalifah ) Rasulullah. Tahap problematik ini mulai semakin nampak ketika terjadi pembunuhan khalifah utsman bin affan dan pemilihan ali bin Abi thalib yang di lanjutkan dengan perselisihan antara Ali dan Aisyah dan Ali – muawiyah. Diskusi yang terjadi berkisar pada masalah kepemimpinan politik ummat islam dan status pelaku dosa besar ( murtakib al kaba'ir ). Para pengikut Ali, kelompok Syi'ah, menekankan pada ciri- ciri pemimpin, sedangkan kelompok yang memisahkan dari pengikut Ali yang di sebut Khawarij lebih menekenkan pada status para pelaku dosa besar yang harus di keluarkan dari masyarakat muslim. Usaha untuk mendamaikan kedua kelompokini di lakukan oleh cucu Ali, Hasan ibn muhammad Ibn Al Hanafiyyah, yang menawarkan idea of irja' ( 76/ 695 ) yang kemudian di sebut dengan kelompok Al Murji'ah. Dengan lahirnya kelompok al murji'ah yang isunya menjadi spekulatif, meskipun masih berkaitan dengan masalah politik. Tapi sejatinya suasana pemikiran telah berubah dari "politik ke teologi".
Dari masalah pelaku dosa besar yang di bahas dari sisi hukum, apakah pelaku dosa besar masih di anggap sebagai mukmin atau tidak, diskusi mulai berkembang ke arah definisi iman, ini artinya para ulama saat itu mulai melihat suatu masalah dari sisi lain selain sisi hukum, yaitu teologi. Dan dari sejak itu kegiatan pemikiran tentang spekulatif mulai bermula.. maka dari itu dapat di katakan bahwa timbulnya pemikiran spekulatif yang menghasilkan filsafat islam ini, di pengaruhi terutamanya oleh prinsip – prinsip pemikiran hukum.
Pembahasan berkembang lagi menjadi lebih murni spekulatif dan beralih kepada isu tentang konsep kekuasaan Tuhan dalam menentukan kejadian- kejadian di dunia, termasuk tingkah laku manusia. Kelompok yang di sebut Qodariyyah pada tahun 71/690 berpendapat bahwa tingkah laku manusia di tentukan oleh takdir tuhan dan bukan berdasarkan pada kebebasan manusia. Meskipun pemikiran ini tidak berangkat dari kepentingan politik, tapi ada usaha – usaha untuk mengaitkannya dengan masalah politik. Kholifah Bani Umayyah mengklaim bahwa kekuasaan mereka telah di takdirkan oleh Tuhan.Sebagai indikasi bahwa masalah teologi ini penting maka Hsan Al Basri ( d. 110/728 )tokoh penting dalam ini., pada tahun 81/700 menulis risalah pada khalifah Abd al Malik yang intinya membicarakan masalah kebebasaan kehendak manusia dan takdir Tuhan, yang kemudian di balas oleh khalifah secara trertulis. Tokoh – tokoh lain yang intensif terlibat dalam diskusi masalah ini adalah Ma'bad Al Juhani ( d.84/703 ) and Ghaylan al Dimanshqi ( d. 126/ 743 ). Pandangan kelompok yang di sebut al Qadariyyah ini di sanggah oleh Jamn ibn Safwan ( d.127/745 ), yang pengikutnya di namakan Al Jahmiyyah.
Semua ini sekedar menggambarkan bahwa masyarakat Muslim saat itu telah mendiskusikan secara intensif masalah teologi secara terpisah dari diskusi tentang masalah hukum, dan ini menandakan tahap disipliner ilm kalam.
Pada akhir abad pertama hijrah ( 730's- 800's ), telah mendapat suatu kesadaran ilmiah di kalangan cendekiawan muslim bahwa masalah – masalah teologi perlu di bahasdengan metodologi tersendiri yang terpisah dan berbeda dari metode penetapan hukum. Perselisihan antara Wshil bin Atha' ( w.131/748 ) dan Al Hasan Al Basri tentang status pelaku dosa besar adalah pertanda bahwa mulai memisahkan objek kajian teologis secara disipliner. Tapi sejauh ini, Istilah kalam belum di pakai secara resmi sebagai disiplin ilmu tersendiri, sebab masih terdapat usaha- usaha untuk meemggunakan istilah Fiqh sebagai ilmu yang membicarakan masalah Ketuhanan. Abu Hanifah ( w.150/ 767) yang mewakili kelompok salaf, masih menggunakan istilah al Fiqh al Akbar untuk mensdiskusikan masalah – masalah teologis. Meskipun istilah ini di gunakan hingga pertengahan abad ketiga hijriyyah, namun akhirnya ketika Madzab Hanafi mengkritik kelompok Mu'tazilah dan membela kelompok asy 'ariyah, istilah Kalam di pakai untuk merujuk kedua kelompok ini. Ini menunjukkan bahwa Istilah al Fiqh Al Akbar tidak lagi di pakai istilah atau nama disiplin ilmu pemikiran spekulatif. Tahap disipliner ilmu kalam memakan waktu cukup lama untuk menjadi nama sebuah disiplin ilmu. Ketika terjadi diskusi – diskusi resmi tentang kalam yang terjadi pada Kantor pengadilan Barmadiks di zaman kekuasaan harun Ar Rasyid ( 170- 194/ 786- 809 ), istilah kalam belumdi pakai secara resmi. Bahkan di zaman abu al Hasan al Ash 'ari ( d.324/935 ) istilah ini masih juga belum resmi di pakaisebagai nama suatu disiplin ilmu, sebab dalam karya – karya Al Ash'ari kalam tidak di pakai sebagai suatu disiplin ilmu, istilah kalam hanya di pakai untuk menunjukkan sub judul dari suatu bab, seperti al Kalam fi ithbat ru'yatillah.
Tahap penamaan kalam sebagai ilmu dapat di rujuk dari fakta sejarah ketika Ibn Sa'ad ( d.288/845 ) mwenggunakan istilah al Mutakallimun untuk mereka yang terlibat dalam diskusi tentang pelaku dosa besaryang di angkat oleh kelompok Murji'ah. Namun, istilah Klam yang merujuk pada disiplin ilmu pemikiran spekulatif muncul pada akhir abad ke- 4 hijrah., dalam karya ibn Nadim, Kitab al Fihrist. Dalam kitab ini ia dengan jelas menyebut istilah Ilm al Kalam dan Mutakallimin untuk merujuk kelompok teologi seperti Al Khawarij, al Mu'tazilah, ash 'Ariyah, al Shi'ah, Sufiyyah dsb. Inilah barangkali yang menandai lahirnya Ilm al Kalam.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa ilmu dan prinsip – prinsip epistemologi dalam islam lahir dari pandangan hidup islam yang di awali oleh adanya tradisi intelektual islam. Ilmu dalam Islam bukan di ambil dari kebudayaan lain. Sebab Ilmu tidak dapat lahir dan berkemnbang pada suatu masyarakat jika semua konsep –konsep di dalamnya berasal dari hasil impor. Artinya suatu ilmu tidak dapat muncul dengan secara tiba- tba dalam suatu masyarakat atau kebudayaan yang tidak memiliki latar belakang tradisi ilmiah atau tanpa worldview yang kaya dengan struktur keilmuan , ilmu asing "diadopsi" bukan "diadopsi", itupun sebatas konsep – konsepnya yang di nilai layak untuk di adapsi. Karena proses pinjam meminjam antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain adalah sesuatu yang alami. Namun dalam mengadapsi konsep – konsep dari worldview dan kebudayaan asing di perlukan proses epistemologius untuk mengislamkannya. Malah sebenarnya ketika elemen – elemen asing itu di transmisikan ke dalam pandangan hidup islam, pada saat yang sama terjadi proses islamisasi.
Meskipun demikian posisi konsep pinjaman tidak bisa menjadi lebih dominan. Dalam kasus filsafat dan sains islam, misalnya, posisi konsep pinjaman dari yunanidi gambarkan dengan tepat sekali oleh M.M Syarif. Baginya pemikiran muslim sebagai kain, dan pemikiran yunani sebagai sulaman( tambahan ). "Meskipun sulaman itu adalah benang emashendaknya tidak menganggap sulaman itu sebagai kain."Ini bermakna bahwa tidak bisa di katakan smenghasilkan suatu disiplin ilmu jika paradigma, prinsip – prinsip dan teorinya di dominasi oleh pandangan hidup lain.

Rabu, 19 Mei 2010

PTK

PENELITIAN TINDAKAN KELAS
(Classroom Action Research)
Achmad Kusairi, SPd.

1. Latar Belakang
Peningkatan mutu pendidikan dapat dicapai melalui berbagai cara, antara lain: melalui peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, pelatihan dan pendidikan, atau dengan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran dan non pembelajaran secara profesional lewat penelitian tindakan secara terkendali. Upaya peningkatan kualitan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi dampak positif ganda. Pertama, peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata. Kedua, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Ketiga, peningkatan, penerapan, prinsip pembelajaran berbasis penelitian.
Upaya peningkatan kemampuan meneliti di masa lalu cenderung dirancang dengan pendekatan research-develompment-dissemination (TDD). Pendekatan ini lebih menekankan perencanaan penelitian yang bersifat top-down dan bersifat kuat orientasi teoretiknya. Paradigma demikian dirasakan tidak sesuai dengan perkembangan pemikiran baru, khususnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Pendekatan MPMBS menitikberatkan pada upaya perbaikan mutu yang inisiatifnya berasal dari motovasi internal pendidik dan tenaga kependidikan itu sendiri (an effort to internally initiate endeavor for quality improvement), dan bersifat pragmatis naturalistik.
MPMBS mengisyaratkan pula adanya kemitraan antarjenjang dan jenis pendidikan, baik yang bersifat praktis maupun dalam tataran konsep. Kebutuhan akan kemitraan yang sehat dan produktif, yang dikembangkan atas prinsip kesetaraan sudah sangat mendesak. Kemitraan yang sehat antara LPTK dan sekolah adalah sesuatu yang penting, lebih-lebih lagi dalam era otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Penelitian pun hendaknya dikelola berdasar atas kemitraan yang sehat (kolaboratif), sehingga kedua belah pihak dapat memetik manfaat secara timbal balik (reciprocity of benefits).
Melelui penelitian tindakan kelas (PTK) masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran dapat dikaji, ditingkatkan dan dituntaskan, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran uyang inovatif dan hasil belajar yang lebih baik, dapat mewujudkan secara sistematis. Upaya PTK diharapkan dapat menciptakan sebuah budaya belajar (learning culture) di kalangan dosen di LPTK, dan guru-siswa di sekolah. PTK menawarkan peluang sebagai strategi pengembangan kinerja, sebab pendekatan penelitian ini menempatkan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya sebagai peneliti, sebagai agen perubahan yang pola kerjanya kolaboratif.

2. Tujuan
Maksud dan tujuan PTK bagi guru adalah :
a. Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
b. Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan luar kelas.
c. Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan.
d. Menumbuh-kembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah dan LPTK, sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan (sustainable).
e. Meningkatkan keterampilan pendidik dan tenaga kependidikan khususnya di sekolah dalam melakukan PTK.
f. Meningkatkan kerjasama profesional di antara apendidik dan tenaga kependidikan di sekolah dan LPTK.

3. Bidang Kajian PTK
a. Masalah belajar siswa di sekolah (termasuk di dalam tema ini, antara lain: masalah belajar di kelas, kesalahan-kesalahan pembelajaran, miskonsepsi).
b. Desain dan strategi pembelajaran di kelas ( termasuk dalam tema ini, antara lain, masalah pengelolaan dan prosedur pembelajaran, implementasi dan inovasi dalam metode pembelajaran, interaksi di dalam kelas, partisipasi orang tua dalam proses belajar siswa).
c. Alat bantu, media dan sumber belajar (termasuk dalam tema ini, antara lain: masalah penggunaan media, perpustakaan, dan sumber belajar di dalam/luar kelas, peningkatan hubungan antara sekolah dan masyarakat).
d. Sistem asesmen dan evaluasi proses dan hasil pembelajaran (termasuk dalam tema ini, antara lain: masalah evaluasi awal dan hasil pembelajaran, pengembangan instrumen asesmen berbasis kompetensi).
e. Pengembangan pribadi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya (termasuk dalam tema ini, antara lain: peningkatan kemandirian dan tanggung jawab peserta didik, peningkatan keefektifan hubungan antara pendidik-peserta didik dan orang tua dalam PBM, peningkatan konsep diri peserta didik).
f. Masalah kurikulum (termasuk dalam tema ini, antara lain: implementasi KBK, urutan penyajian materi pokok, interaksi guru-siswa, siswa-materi, ajar, dan siswa-lingkungan belajar).

4. Mengapa Guru Harus Meneliti?
Pertanyaan ini sudah umum diajukan, karena guru mengajar berdasarkan perolehan pengetahuan di lembaga pendidikannya berdasarkan penelitian orang lain. Ia tidak perlu melakukan penelitian, karena pengetahuan mengenai pendidikan sudah banyak dihasilkan para ahli dan para peneliti. Hal inilah yang sesungguhnya perlu dipertanyakan; mengapa suara guru tidak terdengar dalam penelitian? Siapa yang menentukan yang akan meneliti? Mengapa pengetahuan guru yang dihasilkan dari dalam kelas oleh para praktisi dianggap kurang bermutu dan tidak diindahkan dalam literatur?
Selama ini pengetahuan dihasilkan oleh para ahli dan para profesor di universitas melalui penelitian tradisional. Hasilnya diterbitkan dan dibaca dalam literatur. Apa yang dibaca guru dalam penelitian ini sangat informatif, akan tetapi jarang suara guru terdengar dari literatur (Jenne dalam Rosss, 1994:60). Hal ini disebabkan kendala yang ditimbulkan oleh organisasi dan budaya sekolah yang menciptakan kondisi guru dengan citra rendah, dalam status sosial, pekerjaan berat, standard performans yang rendah pula.
Jawaban yang paling utama terhadap pertanyaan mengapa guru harus melakukan PTK ialah untuk mengubah citra dan meningkatkan keterampilan profesional guru. Istilah ”profesional” sepertinya meningkatkan kedudukan guru dan dosen, akan tetepi sekaligus mereka sendiri bertanya-tanya apa sebenarnya makna profesional itu. Seorang guru atau dosen yang profesional adalah yang selalu mengembangkan diri untuk memenuhi tuntutan dalam tugas sebagainya sebagai pendidik. Pengembangan diri itu meliputi semua aspek guru atau dosen dalam kemampuannya sebagai pendidik termasuk untuk menentukan PTK sebagai salah satu cara untuk meningkatkan cara mengajar.
PTK adalah suatu bentuk inkuiri pendidikan. Di dalam pelaksanaannya gagasan atau permasalahan guru atau dosen diuji dan dikembangkan dalam bentuk tindakan. Guru dan dosen sebagai pengembang kurikulum di kelas dapat melakukan tindakan-tindakan yang tergolong ke arah proses pembaharuan kurikulum karena PTK.
a. Sebuah proses yang diprakarsai guru atau dosen untuk menanggapi situasi praktis tertentu yang harus mereka hadapi.
b. Situasi tersebut merupakan pelaksanaan bagian dari kurikulum yang terganggu dan menimbulkan persoalan bagi guru atau dosen, misalnya karena penolakan peserta didik yang tidak mau belajar.
c. Apabila PTK itu merupakan upaya dalam inovasi pembelajaran, dan ternyata menimbulkan respon yang kontroversial di kalangan staf guru atau dosen lainnya karena dipandang bertentangan dengan hahikat belajar, mengajar, evaluasi selama ini, maka PTK dapat menbantu memberikan kepastian tentang manfaatnya kepada staf guru atau dosen tersebut.
d. permasakahan atau isu-isu yang didiskusikan berlangsung dalam wacana yang bebas dan terbuka, ditandai oleh rasa toleransi dan menghormati pendapat orang lain.
e. proposal PTK mengusulkan perubahan dianggap sebagai hipotesis kerja yang harus diujikan terlebih dahulu dalam praktik, sebagai pertanggungjawaban atau akuntabilitas terhadap seaf pengajar.
f. penelitian ini merupakan pendekatan yang akar rumput atau grass roots sifatnya, memakai pendekatan ”bottom-up” dan bukan ”top-down” dalam mengembangkan kebijakan atau strategi pengembangan kurikulum, yang seyogianya difasilitasi oleh pimpinan lembaga pendidikan yang bersangkutan (Wiraatmadja, 2006: 43).

5. Pengertian PTK
Kemmis (1983) menyatakan PTK atau action research adalah upaya mengujicobakan ide-ide ke dalam praktik untuk memperbaiki atau mengubah sesuatu agar memperoleh dampak nyata dari situasi. PTK adalah suatu bentuk penelitian reflektif diri secara kolektif dilakukan peneliti dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik pendidikan dan sosial mereka, serta pemahaman mereka mengenai praktik ini dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik ini.
Dengan kata lain, PTK adalah cara suatu kelompok atau seseorang dalam mengorganisasi suatu kondisi sehingga mereka dapat mempelajari pengalaman mereka dan membuat pengalaman mereka dapat diakses oleh orang lain. Dalam kenyataannya PTK dapat dilaksanakan berkelompok maupun individual. Dengan harapan pengalaman mereka dapat ditiru atau diakses untuk memperbaiki kualitas kerja orang lain. Secara praktis PTK pada umumnya sangat cocok untuk meningkatkan subjek yang diteliti. Subjek yang diteliti dapat berupa kelas maupun kelompok orang yang berada di sebuah lembaga yang bermaksud meningkatkan kualitas kerjanya.
PTK merupakan pengembangan penelitian terpakai atau aplied research yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Syamsudin, 2006191):
a. peneliti merupakan pemeran aktif dalam keghiatan pokok;
b. peneliti adalah agen perubahan (agent of change);
c. subjek atau objek yang diteliti memperoleh manfaat dari hasil tindakan yang diberikan secara terencana oleh peneliti.

6. Asas-asas PTK
Dalam PTK ada enam asas yang perlu diperhatikan. Enam asas itu adalah:
1. Asas Ktitik Reflektif
Kritik tersebut merupakan upaya dalam menuilai apa yang telah dilakukan berdasarkan data yang dikumpulkan. Hal itu untuk mencari alternatif-alternatif tindakan yang inovatif yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Ada tiga langkah yang perlu ditempuh dalam kritik reflektif ini. Tiga langkah itu adalah, (1) mengumpulkan catatan-catatan yang telah dibuat peneliti atau pihak yang berwenang, (2) menerangkan dasar reflektif yang menyangkut catatan-catatan tersebut, dan (3) mntransformasi pernyataan menjadi pertanyaan dan sejumlah alternatif yang memungkinkan dapat sebagai rekomendasi yang belum terpikirkan sebelumnya. Seluruh data yang terkumpul melalui catatan dan rekaman menjadi acuan bagi fakta-fakta situasi yang diteliti.
2. Asas Kritik Dialektis
Penelitian tradisional yang mendasarkan diri pada faham positivisme menuntut peneliti untuk mengamati gejala secara menyeluruh dan membatasinya. Hal ini dimaksudkan agar peneliti dapat mengidentifikasi apakah sesuatu gejala itu merupakan sebab atau akibat. Dalam penelitian tindakan, peneliti diharapkan menerapkan pendekatan dialektis yang menuntut peneliti untuk memberikan kritik terhadap gejala yang dijumpainya. Untuk kepentingan tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap konteks hubungan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, dan struktur kontradiksi internal yang memungkinkan adanya kecenderungan untuk berubah.


3. Asas Sumber Daya Kolaboratif
Kolaboratif yang dimaksud dalam konteks ini adalah sudut pandang setiap orang akan dianggap memberikan andil pada pemahaman. Dalam asas ini peneliti perlu selalu ingat bahwa ia adalah bagian dari situasi yang diteliti; ia bukan pengamat saja, tetapi juga terlibat langsung dalam proses situasi tersebut. Untuk memahami asas ini peneliti perlu memperhatikan pertanyaan-pertanyaan (1) apa peran saya sebagai peneliti?, (2) bagaimana hubungan yang harus saya ciptakan dengan atasan saya, dengan teman atau murid saya yang akan menjadi sumber data?, (3) bagaimana usaha saya supaya data ”objektif”.
4. Asas Resiko
Asas resiko mengacu pada keberanian peneliti untuk mengambil resiko dalam proses penelitiannya. Salah satu resiko tersebut adalah tidak tepatnya prediksi-prediksi penelitian atau melesetnya hipotesis tindakan dan tuntutan untuk melakukan transformasi. Hal-hal yang mungkin ditransformasikan, antara lain berupa penafsiran sementara tentang situasi, keputusan peneliti yang terkait denagan persoalan yang dihadapi, dan antisipasi peneliti terhadap urutan kejadian yang akan dilalui dalam penelitian. Melalui keterlibatannya dalam penelitian, peneliti mungkin berubah pandangan.
5. Asas Struktur Majemuk
Penelitian tindakan memungkinkan sekali memiliki struktur majemuk. Hal itu berhubungan dengan sifat penelitian tindakan yang dialektif, reflektif, dan kolaboratif. Contoh struktur majemuk ini adalah bila melakukan penelitian pengajaran, maka situasinya harus mencakup minimal guru, siswa, kurikulum, tujuan pembelajaran, dan keluaran. Hal ini berkaitan dengan gagasan bahwa gejala yang diteliti harus mencakup seluruh unsur pokok.
6. Asas Teori, Praktik, Transformasi
Dalam penelitian tindakan, antara teori dan praktik tidak dapat dipisahkan, sesuai dengan konsep penelitian tindakan, yakni penelitian dan tindakan. Teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berbeda yang bertentangan satu sama lain, yang melintasi jurang yang tak terjembatani. Teori mengandung unsur-unsur praktik, dan sebaliknya praktik mengandung unsur teori.


7. Karakteristik PTK
Setiap jenis penelitian memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan penelitian yang lain. Adapun ciri-ciri penelitian tindakan adalah:
(1) bersifat situasional kontekstual yang terkait dengan mendiagnosis dan memecahkan masalah dalam konteks tertentu,
(2) Menggunakan pendekatan kolaboratif,
(3) Bersifat partisipatori (manakala penelitian tindakan dilakukan secara tim) yakni masing-masing anggota tim ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan penelitiannya.
(4) Bersifat self-evaluative, yakni peneliti melakukan evaluasi sendiri secara kontinyu untuk meningkatkan praktik kerja,
(5) Prosedurnya bersifat on-the-spot yang didesain untuk menangani masalah kongkret yang ada di atempat itu juga,
(6) Temuannya diterapkan segera dan dalam perspektif jangka panjang,
(7) Memiliki sifat luwes dan adaptif.

8. Langkah-Langkah PTK
Secara umum langkah-langkah penelitian tindakan meliputi 8 tahap, yaitu:
Tahap Kegiatan
1 identifikasi – evaluasi – formulasi masalah yang dipandang kritis dalam situasi mengajar sehari-hari
2 Diskusi pendahuluan dan perundingan di antara kelompok terlibat; guru, peneliti, penasihat, sponsor, yang berakhir dengan suatu draf usulan dan persoalan-persoalan yang perlu dijawab
3 Kajian pustaka, jurnal penelitian yanga relevan dalam sasaran, prosedur permasalahan
4 Modifikasi atau redefinisi rumusan awal masalahnya. Mungkin muncul hipotesis yang dapat diuji
5 Pemilihan prosedur penelitian, penetapan sampel, administrasi penelitian dan tindakannya, pemilihan bahan, metode belajar mengajar, alokasi sumber dan tenaga
6 Pemilihan prosedur evaluasinya dan melaksanakan prinsip kontinuitas dan menetapkan sasaran evaluasinya
7 Melaksanakan proyek penelitian tindakan
8 Pemaknaan data, penarikan inferensi, dan penilaian seluruh proyek penelitian. Diskusi penemuannya berdasarkan kriteria yang telah disetujui


Operasionalisasi dalam penelitian tindakan (tahap 7) dijabarkan menjadi 4 tahap yang dapat digambarkan sebagai berikut:







9. Perbedaan Penelitian Biasa dan PTK
Walaupun telah berkembang lama di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, namun di Indonesia penelitian tindakan masih termasuk baru. Penelitian tindakan berbeda dengan penelitian biasa. Ada beberapa perbedaan utama antara penelitian biasa dengan penelitian tindakan. Perbedaan itu dijelaskan sebagai berikut ini.
APA PENELITIAN BIASA PENELITIAN TINDAKAN
Siapa Dilakukan oleh paara profesor, ahli, peneliti khusus, mahasiswa terhadap kelompok khusus, kelompok eksperimen dan kontrol Dilakukan oleh para pelaksana kegiatan dalam kegiatan yang menjadi tugasnya.
Di mana Dalam lingkungan di mana variabel dapat dikontrol Di dalam lingkungan kerja atau lingkungan tugasnya sendiri
Bagaimana Menggunakan pendekatan kuantitatif, menguji signifikansi statistik, hubungan sebab akibat antarvariabel Menggunakan pendekatan kualitatif menggambarkan apa yang sedang berjalan dan ditujukan untuk mengetahui dampak dari kegiatan yang dilakukan
Mengapa Menemukan kesimpulan yang dapat digeneralisasikan Melakukan tindakan dan mendapatkan hasil positif dari perubahan yang dilakukan dalam lingkungan kerja atau tugasnya





10. Fungsi PTK
Menurut Cohen dan Manion (1980), penelitian tindakan mempunyai lima kategori fungsi, yaitu:
(1) Sebagai alat untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan diagnosis dalam situasi tertentu;
(2) Sebagai alat untuk pelatihan dalam jabatan sehingga membekali guru yang bersangkutan dengan keterampilan, metode, dan teknik mengajar yang baru, mempertajam kemampuan analisisnya dan mempertinggi kesadaran atas kelebihan dan kekurangan pada dirinya;
(3) Sebagai alat untuk mengenalkan pendekatan tambahan atau yang inovatif pada pengajaran;
(4) Sebagai alat untuk meningkatkan komunikasi antara guru di lapangan dan peneliti akademis, dan memperbaiki kegagalan penelitian tradisional;
(5) Sebagai alat untukn menyediakan alaternatif atau pilihan yang lebih baik untuk mengantisipasi pendekatan yang lebih subjektif, impresionistik dalam memecahkan masalah di dalam kelas.

Daftar Rujukan

Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen. 1992. Qualitative Research fo Education: an Intruduction to Theory and Metodhs. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Mile, H.M dan A.M. Reninger. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rokidi. Jakarta: UI Pres.

Syamsuddin, A.R. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, N.S. 2005 Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Taggart, R. dan S. Kemmis. 1998. The Action Research Planner. Victoria: Deakin.

Wiriaatmadja, R.2006. Metode Penelitian Tindakan Kelas untuk meningkatkan Mutu Kinerja Guru Dosen . Bandung: Remaja Rosdakarya.

Zuriah, Nurul. 2003. Penelitian Tindakan dalam Bidang Pendidikan dan Sosial. Malang: Bayu Media Publishing.




Contoh: Sistematika Laporan Hasil PTK


LAPORAN HASIL PENELITIAN TINDAKAN KELAS

A. Bagian Pembuka
1. Halaman Judul
2. Lembar Pengesahan
3. Kata Pengantar
4. Daftar Isi
5. Daftar lampiran

B. Bagian Isi
1. Bab I : Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Identifikasi masalah
Pembatasan dan rumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat dan hasil Penelitian

2. Bab II : Kajian Pustaka
• Kajian teori
• Kajian hasil penelitian

3. Bab III : Metodologi/ Metode Penelitian
• Objek tindakan
• Setting/ lokasi/ subjek penelitian
• Metode pengumpulan data
• Metode analisis data
• Cara pengambilan kesimnpulan

4. Bab IV : Hasil Penelitian
• Gambaran selintas tentang setting
• Uraian penelitian secara umum – keseluruhan]
• Penjelasan per siklus
• Proses menganalisis data
• Pembahasan dan pengambilan kesimpulan

5. Bab V : Kesimpulan dan Saran
• Kesimpulan
• Saran untuk tindakan lebih lanjut

C. Bagian Penunjang/ Penutup
• Daftar Pustaka
• Lampiran-lampiran

PBK

PENILAIAN BERBASIS KELAS
(Classroom Based Assessment)
(Oleh: Achmad Kusairi, Guru Bahasa Inggris MAN Jungcangcang Pamekasan


A. Latar Belakang
Implementasi Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa implikasi terhadap model dan teknik penilaian yang dilaksanakan di kelas. Penilaian terdiri atas penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak melaksanakan proses pembelajaran. Penilaian eksternal dilakukan oleh suatu lembaga, baik dalam maupun luar negeri dimaksudkan antara lain untuk pengendali mutu. Sedangkan penilaian internal adalah penilaian yang direncanakan dan dilakukan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung.

Penilaian berbasis kelas merupakan bagian dari penilaian internal (internal assessment) untuk mengetahui hasil belajar peserta didik terhadap penguasaan kompetensi yang diajarkan oleh guru. Tujuannya adalah untuk menilai tingkat pencapaian kompetensi peserta didik yang dilaksanakan pada saat pembelajaran berlangsung dan akhir pembelajaran.


B. Pengertian Penilaian Berbasis Kelas

Penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan guru yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran. Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi atau indikator yang akan dinilai. Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dirumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing.

Penilaian berbasis kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian berbasis kelas dilaksanakan melalui berbagai teknik/cara, seperti penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan penilaian diri.

Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik dalam periode waktu tertentu dibandingkan dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut sebelumnya dan tidak dianjurkan untuk dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi dibantu untuk mencapai kompetensi atau indikator yang diharapkan.


C. Manfaat Penilaian Kelas
Manfaat penilaian kelas antara lain adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat pencapai kompetensi selama dan setelah proses pembelajaran berlangsung.
2. Untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam proses pencapaian kompetensi.
3. Untuk memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami peserta didik sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remedial.
4. Untuk umpan balik bagi guru dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan.
5. Untuk memberikan piliha alternatif penilaian kepada guru.
6. Untuk memberikan informasi kepada orang tua dan komite sekolah tentang efektivitas pendidikan.

D. Fungsi Penilaian Kelas
Penilaian kelas memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai suatu kompetensi.
2. Mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan (sebagai bimbingan).
3. Menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik dan sebagai alat diagnosis yang membantu guru menentukan apakah seseorang perlu mengikuti remedial atau pengayaan.
4. Menemukan kelemahan dan kekurangan proses pembelajaran yang sedang berlangsung guna perbaikan proses pembelajaran berikutnya.
5. Sebagai kontrol bagi guru dan sekolah tentang kemajuan perkembangan peserta didik.

E. Prinsip-prinsip Penilaian Kelas
1. Validitas
Validitas berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi. Dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, misalnya kompetensi ” mempraktikkan gerak dasar jalan..”, maka penilaian valid apabila mengunakan penilaian unjuk kerja. Jika menggunakan tes tertulis maka penilaian tidak valid.


2. Reliabilitas
Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi (keajegan) hasil penilaian. Penilaian yang reliable (ajeg) memungkinkan perbandingan yang reliable dan menjamin konsistensi. Misal, guru menilai dengan unjuk kerja, penilaian akan reliabel jika hasil yang diperoleh itu cenderung sama bila unjuk kerja itu dilakukan lagi dengan kondisi yang relatif sama. Untuk menjamin penilaian yang reliabel petunjuk pelaksanaan unjuk kerja dan penskorannya harus jelas.
3. Menyeluruh
Penilaian harus dilakukan secara menyeluruh mencakup seluruh domain yang tertuang pada setiap kompetensi dasar. Penilaian harus menggunakan beragam cara dan alat untuk menilai beragam kompetensi peserta didik, sehingga tergambar profil kompetensi peserta didik.
4. Berkesinambungan
Penilaian dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran pencapaian kompetensi peserta didik dalam kurun waktu tertentu.
5. Obyektif
Penilaian harus dilaksanakan secara obyektif. Untuk itu, penilaian harus adil, terencana, dan menerapkan kriteria yang jelas dalam pemberian skor.
6. Mendidik
Proses dan hasil penilaian dapat dijadikan dasar untuk memotivasi, memperbaiki proses pembelajaran bagi guru, meningkatkan kualitas belajar dan membina peserta didik agar tumbuh dan berkembang secara optimal.

F. Rambu-Rambu Penilaian Kelas
Dalam melaksanakan penilaian, guru sebaiknya:
• Memandang penilaian dan kegiatan belajar-mengajar secara terpadu.
• Mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian sebagai cermin diri.
• Melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pengajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik.
• Mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.
• Mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik.
• Menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi. Penilaian kelas dapat dilakukan dengan cara penilaian unjuk kerja, penilaian sikap, penilaian tertulis, penilaian proyek, penilaian produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
• Mendidik dan meningkatkan mutu proses pembelajaran seefektif mungkin.

G. Ranah Penilaian
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan penjabaran dari stándar isi dan stándar kompetensi lulusan. Di dalamnya memuat kompetensi secara utuh yang merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai karakteristik masing-masing mata pelajaran.
Muatan dari stándar isi pendidikan adalah stándar kompetensi dan kompetensi dasar. Satu stándar kompetensi terdiri dari beberapa kompetensi dasar, dan setiap kompetensi dasar dijabarkan ke dalam indikator-indikator pencapaian hasil relajar yang dirumuskan atau dikembangkan oleh guru dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi sekolah/daerah masing-masing. Indikator-indikator yang dikembangkan tersebut merupakan acuan yang digunakan untuk menilai pencapaian kompetensi dasar bersangkutan.
Teknik penilaian yang digunakan harus disesuaikan dengan karakteristik indikator, standar kompetensi dasar dan kompetensi dasar yang diajarkan oleh guru. Tidak menutup kemungkinan bahwa satu indikator dapat diukur dengan beberapa teknik penilaian, hal ini karena memuat domain kognitif, psikomotor dan afektif.

H. TEKNIK PENILAIAN

Untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik dapat dilakukan beragam teknik, baik berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik mengumpulkan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik terhadap pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Penilaian satu kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian hasil relajar, baik berupa domain kognitif, afektif, maupun psikomotor. Ada tujuh teknik yang dapat digunakan, yaitu penilaian unjuk kerja, penilaian sikap, penilaian tertulis, penilaian proyek, penilaian produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.

1. Penilaian Unjuk Kerja
a. Pengertian
Penilaian unjuk kerja merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai ketercapaian kompetensi yang menuntut peserta didik melakukan tugas tertentu seperti: praktek di laboratorium, praktek sholat, praktek olahraga, bermain peran, memainkan alat musik, bernyanyi, membaca puisi/ deklamasi dll.

Penilaian unjuk kerja perlu mempertimbangkan hal-hal berikut:
• langkah-langkah kinerja yang diharapkan dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja dari suatu kompetensi.
• Kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai dalam kinerja tersebut.
• kemampuan-kemampuan khusus yang diperlukan untuk menyelesai-kan tugas.
• Upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak terlalu banyak, sehingga semua dapat diamati.
• kemampuan yang akan dinilai diurutkan berdasarkan urutan pengamatan.

b. Teknik Penilaian Unjuk Kerja
Pengamatan unjuk kerja perlu dilakukan dalam berbagai konteks untuk menetapkan tingkat pencapaian kemampuan tertentu. Untuk menilai kemampuan lompat jauh peserta didik, misalnya dilakukan pengamatan atau observasi yang beragam, seperti: teknik mengambil awalan, teknik tumpuan, sikap/posisi tubuh saat di udara, teknik mendarat. Dengan demikian, gambaran kemampuan peserta didik akan lebih utuh. Untuk mengamati unjuk kerja peserta didik dapat menggunakan alat atau instrumen berikut:

a). Daftar Cek (Check-list)
Penilaian unjuk kerja dapat dilakukan dengan menggunakan daftar cek (ya-tidak). Penilaian unjuk kerja yang menggunakan daftar cek, peserta didik mendapat nilai bila kriteria penguasaan kompetensi tertentu dapat diamati oleh penilai. Jika tidak dapat diamati, peserta didik tidak memperoleh nilai. Kelemahan cara ini adalah penilai hanya mempunyai dua pilihan mutlak, misalnya benar-salah, dapat diamati-tidak dapat diamati. Dengan demikian tidak terdapat nilai tengah, namun daftar cek lebih praktis digunakan mengamati subjek dalam jumlah besar. Berikut contoh daftar cek.
Contoh checklists
Penilaian Lompat Jauh Gaya Menggantung
(Menggunakan Daftar Tanda Cek)
Nama peserta didik: ________ Kelas: _____
No. Aspek Yang Dinilai Baik Tidak baik
1. Teknik awalan
2. Teknik tumpuan
3. Sikap/posisi tubuh saat di udara
4. Teknik mendarat
Skor yang dicapai
Skor maksimum

b). Skala Penilaian (Rating Scale)

Contoh rating scales
Penilaian Lompat Jauh Gaya Menggantung
(Menggunakan Skala Penilaian)
Nama Siswa: ________ Kelas: _____
No. Aspek Yang Dinilai Nilai
1 2 3 4
1. Teknik awalan
2. Teknik tumpuan
3. Sikap/posisi tubuh saat di udara
4. Teknik mendarat
Jumlah
Skor Maksimum 16
Keterangan penilaian:
1 = tidak kompeten
2 = cukup kompeten
3 = kompeten
4 = sangat kompeten
Jika seorang siswa memperoleh skor 16 dapat ditetapkan ”sangat kompeten”. Dan seterusnya sesuai dengan jumlah skor perolehan.


2. Penilaian Sikap
a. Pengertian
Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Sikap dapat dibentuk, sehingga terjadinya perilaku atau tindakan yang diinginkan.
Sikap terdiri dari tiga komponen, yakni: afektif, kognitif, dan konatif. Komponen afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh seseorang atau penilaiannya terhadap sesuatu objek. Komponen kognitif adalah kepercayaan atau keyakinan seseorang mengenai objek. Adapun komponen konatif adalah kecenderungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu berkenaan dengan kehadiran objek sikap.
Secara umum, objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran berbagai mata pelajaran adalah sebagai berikut.
• Sikap terhadap materi pelajaran.
• Sikap terhadap guru/pengajar.
• Sikap terhadap proses pembelajaran.
• Sikap berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran.

b. Teknik Penilaian Sikap
Penilaian sikap dapat dilakukan dengan beberapa cara atau teknik. Teknik-teknik tersebut antara lain: observasi perilaku, pertanyaan langsung, dan laporan pribadi.

3. Penilaian Proyek
a. Pengertian
Penilaian proyek merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data.
Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan menginformasikan peserta didik pada mata pelajaran tertentu secara jelas.
Dalam penilaian proyek setidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:
• Kemampuan pengelolaan
• Relevansi
• Keaslian

b. Teknik Penilaian Proyek
Penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir proyek. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan disain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapkan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil penelitian juga dapat disajikan dalam bentuk poster. Pelaksanaan penilaian dapat menggunakan alat/instrumen penilaian berupa daftar cek ataupun skala penilaian.

Beberapa contoh kegiatan peserta didik dalam penilaian proyek:
Tugas : lakukan penelitian sederhana tentang kandungan yudium dalam garam yang beredar di masyarakat .

4. Penilaian Produk
a. Pengertian
Penilaian produk adalah penilaian terhadap proses pembuatan dan kualitas suatu produk. Penilaian produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk teknologi dan seni, seperti: makanan, pakaian, hasil karya seni (patung, lukisan, gambar), barang-barang terbuat dari kayu, keramik, plastik, dan logam.
Pengembangan produk meliputi 3 (tiga) tahap dan setiap tahap perlu diadakan penilaian yaitu:
• Tahap persiapan, meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dan merencanakan, menggali, dan mengembangkan gagasan, dan mendesain produk.
• Tahap pembuatan produk (proses), meliputi: penilaian kemampuan peserta didik dalam menyeleksi dan menggunakan bahan, alat, dan teknik.
• Tahap penilaian produk (appraisal), meliputi: penilaian produk yang dihasilkan peserta didik sesuai kriteria yang ditetapkan.

b. Teknik Penilaian Produk
Penilaian produk biasanya menggunakan cara holistik atau analitik.
• Cara holistik, yaitu berdasarkan kesan keseluruhan dari produk, biasanya dilakukan pada tahap appraisal.
• Cara analitik, yaitu berdasarkan aspek-aspek produk, biasanya dilakukan terhadap semua kriteria yang terdapat pada semua tahap proses pengembangan.

5. Penilaian Portofolio
a. Pengertian
Penilaian portofolio merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik.

Penilaian portofolio pada dasarnya menilai karya-karya siswa secara individu pada satu periode untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu priode hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleg guru dan peserta didik. Berdasarkan informasi perkembangan tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan kemampuan peserta didik dan terus melakukan perbaikan. Dengan demikian, portofolio dapat memperlihatkan perkembangan kemajuan belajar peserta didik melalui karyanya, antara lain: karangan, puisi, surat, komposisi, musik.
b. Teknik Penilaian Portofolio
Teknik penilaian portofolio di dalam kelas memerlukan langkah-langkah sebagai berikut:
• Jelaskan kepada peserta didik bahwa penggunaan portofolio, tidak hanya merupakan kumpulan hasil kerja peserta didik yang digunakan oleh guru untuk penilaian, tetapi digunakan juga oleh peserta didik sendiri. Dengan melihat portofolionya peserta didik dapat mengetahui kemampuan, keterampilan, dan minatnya. Proses ini tidak akan terjadi secara spontan, tetapi membutuhkan waktu bagi peserta didik untuk belajar meyakini hasil penilaian mereka sendiri.
• Tentukan bersama peserta didik sampel-sampel portofolio apa saja yang akan dibuat. Portofolio antara peserta didik yang satu dan yang lain bisa sama bisa berbeda.
• Kumpulkan dan simpanlah karya-karya tiap peserta didik dalam satu map atau folder di rumah masing atau loker masing-masing di sekolah.
• Berilah tanggal pembuatan pada setiap bahan informasi perkembangan peserta didik sehingga dapat terlihat perbedaan kualitas dari waktu ke waktu.
• Tentukan kriteria penilaian sampel portofolio dan bobotnya dengan para peserta didik. Diskusikan cara penilaian kualitas karya para peserta didik. Contoh, Kriteria penilaian kemampuan menulis karangan yaitu: penggunaan tata bahasa, pemilihan kosa-kata, kelengkapan gagasan, dan sistematika penulisan. Dengan demikian, peserta didik mengetahui harapan (standar) guru dan berusaha mencapai standar tersebut.
• Minta peserta didik menilai karyanya secara berkesinambungan. Guru dapat membimbing peserta didik, bagaimana cara menilai dengan memberi keterangan tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut, serta bagaimana cara memperbaikinya. Hal ini dapat dilakukan pada saat membahas portofolio.
• Setelah suatu karya dinilai dan nilainya belum memuaskan, maka peserta didik diberi kesempatan untuk memperbaiki. Namun, antara peserta didik dan guru perlu dibuat “kontrak” atau perjanjian mengenai jangka waktu perbaikan, misalnya 2 minggu karya yang telah diperbaiki harus diserahkan kepada guru.
• Bila perlu, jadwalkan pertemuan untuk membahas portofolio. Jika perlu, undang orang tua peserta didik dan diberi penjelasan tentang maksud serta tujuan portofolio, sehingga orangtua dapat membantu dan memotivasi anaknya.

6. Penilaian Diri (self assessment)
a. Pengertian
Penilaian diri adalah suatu teknik penilaian di mana peserta didik diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya.

Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Penilaian konpetensi kognitif di kelas, misalnya: peserta didik diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikirnya sebagai hasil belajar dari suatu mata pelajaran tertentu. Penilaian dirinya didasarkan atas kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Penilaian kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu objek tertentu. Selanjutnya, peserta didik diminta untuk melakukan penilaian berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan penilaian kompetensi psikomotorik, peserta didik dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.

Penggunaan teknik ini dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Keuntungan penggunaan penilaian diri di kelas antara lain:
• dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri;
• peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya;
• dapat mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian.

b. Teknik Penilaian
Penilaian diri dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan objektif. Oleh karena itu, penilaian diri oleh peserta didik di kelas perlu dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
• Menentukan kompetensi atau aspek kemampuan yang akan dinilai.
• Menentukan kriteria penilaian yang akan digunakan.
• Merumuskan format penilaian, dapat berupa pedoman penskoran, daftar tanda cek, atau skala penilaian.
• Meminta peserta didik untuk melakukan penilaian diri.
• Guru mengkaji sampel hasil penilaian secara acak, untuk mendorong peserta didik supaya senantiasa melakukan penilaian diri secara cermat dan objektif.
• Menyampaikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan hasil kajian terhadap sampel hasil penilaian yang diambil secara acak.



I. LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN PENILAIAN

1. Penetapan Indikator Pencapaian Hasil Belajar
Indikator merupakan ukuran, karakteristik, ciri-ciri, pembuatan atau proses yang berkontribusi/menunjukkan ketercapaian suatu kompetensi dasar. Indikator dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur, seperti: mengidentifikasi, menghitung, membedakan, menyimpulkan, menceritakan kembali, mempraktekkan, mendemonstrasikan, dan mendeskripsikan.

Indikator pencapaian hasil belajar dikembangkan oleh guru dengan memperhatikan perkembangan dan kemampuan setiap peserta didik. Setiap kompetensi dasar dapat dikembangkan menjadi dua atau lebih indikator pencapaian hasil belajar, hal ini sesuai dengan keluasan dan kedalaman kompetensi dasar tersebut. Indikator-indikator pencapaia hasil belajar dari setiap kompetensi dasar merupakan acuan yang digunakan untuk melakukan penilaian.

2. Penetapan Teknik Penilaian
Dalam memilih teknik penilaian mempertimbangkan ciri indikator, contoh:
• Apabila tuntutan indikator melakukan sesuatu, maka teknik penilaiannya adalah unjuk kerja (performance).
• Apabila tuntutan indikator berkaitan dengan pemahaman konsep, maka teknik penilaiannya adalah tertulis.

J. PENGELOLAAN HASIL PENILAIAN
a. Data Penilaian Unjuk Kerja
Data penilaian unjuk kerja adalah skor yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan terhadap penampilan peserta didik dari suatu kompetensi. Skor diperoleh dengan cara mengisi format penilaian unjuk kerja yang dapat berupa daftar cek atau skala penilaian.
Nilai yang dicapai oleh peserta didik dalam suatu kegiatan unjuk kerja adalah skor pencapaian dibagi skor maksimum dikali 10 (untuk skala 0 -10) atau dikali 100 (untuk skala 0 -100). Misalnya, dalam suatu penilaian unjuk kerja pidato, ada 8 aspek yang dinilai, antara lain: berdiri tegak, menatap kepada hadirin, penyampaian gagasan jelas, sistematis, dan sebagainya. Apabila seseorang mendapat skor 6, skor maksimumnya 8, maka nilai yang akan diperoleh adalah = 6/8 x 10 = 0,75 x 10 = 7,5.
Nilai 7,5 yang dicapai peserta didik mempunyai arti bahwa peserta didik telah mencapai 75% dari kompetensi ideal yang diharapkan untuk unjuk kerja tersebut. Apabila ditetapkan batas ketuntasan penguasaan kompetensi minimal 70%, maka untuk kompetensi tersebut dapat dikatakan bahwa peserta didik telah mencapai ketuntasan belajar. Dengan demikian, peserta didik tersebut dapat melanjutkan ke kompetensi berikutnya.

b. Data Penilaian Sikap
Data penilaian sikap bersumber dari catatan harian peserta didik berdasarkan pengamatan/ observasi guru mata pelajaran. Data hasil pengamatan guru dapat dilengkapi dengan hasil penilaian berdasarkan pertanyaan langsung dan laporan pribadi.
Seperti telah diutarakan sebelumnya, hal yang harus dicatat dalam buku Catatan Harian peserta didik adalah kejadian-kejadian yang menonjol, yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan unjuk kerja peserta didik, baik positif maupun negatif. Yang dimaksud dengan kejadian-kejadian yang menonjol adalah kejadian-kejadian yang perlu mendapat perhatian, atau perlu diberi peringatan dan penghargaan dalam rangka pembinaan peserta didik.
Pada akhir semester, guru mata pelajaran merumuskan sintesis, sebagai deskripsi dari sikap, perilaku, dan unjuk kerja peserta didik dalam semester tersebut untuk mata pelajaran yang bersangkutan. Deskripsi tersebut menjadi bahan atau pernyataan untuk diisi dalam kolom Catatan Guru pada rapor peserta didik untuk semester dan mata pelajaran yang berkaitan. Selain itu, berdasarkan catatan-catatan tentang peserta didik yang dimilikinya, guru mata pelajaran dapat memberi masukan pula kepada Guru Bimbingan Konseling untuk merumuskan catatan, baik berupa peringatan atau rekomendasi, sebagai bahan bagi wali kelas dalam mengisi kolom deskripsi perilaku dalam rapor. Catatan Guru mata pelajaran menggambarkan sikap atau tingkat penguasaan peserta didik berkaitan dengan pelajaran yang ditempuhnya dalam bentuk kalimat naratif. Demikian juga catatan dalam kolom deskripsi perilaku, menggambarkan perilaku peserta didik yang perlu mendapat penghargaan/pujian atau peringatan.

c. Data Penilaian Tertulis
Data penilaian tertulis adalah skor yang diperoleh peserta didik dari hasil berbagai tes tertulis yang diikuti peserta didik. Soal tes tertulis dapat berbentuk pilihan ganda, benar salah, menjodohkan, uraian, jawaban singkat.
Skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan berbagai bentuk tes tertulis perlu digabung menjadi satu kesatuan nilai penguasaan kompetensi dasar dan standar kompetensi mata pelajaran. Dalam proses penggabungan dan penyatuan nilai, data yang diperoleh dengan masing-masing bentuk soal tersebut juga perlu diberi bobot, dengan mempertimbangkan tingkat kesukaran dan kompleksitas jawaban. Nilai akhir semester ditulis dalam rentang 0 sampai 10, dengan dua angka di belakang koma. Nilai akhir semester yang diperoleh peserta didik merupakan deskripsi tentang tingkat atau persentase penguasaan Kompetensi Dasar dalam semester tersebut. Misalnya, nilai 6,50 dapat diinterpretasikan peserta didik telah menguasai 65% unjuk kerja berkaitan dengan Kompetensi Dasar mata pelajaran dalam semester tersebut.

d. Data Penilaian Proyek
Data penilaian proyek meliputi skor yang diperoleh dari tahap-tahap: perencanaan/persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyajian data/laporan. Dalam menilai setiap tahap, guru dapat menggunakan skor yang terentang dari 1 sampai 4. Skor 1 merupakan skor terendah dan skor 4 adalah skor tertinggi untuk setiap tahap. Jadi total skor terendah untuk keseluruhan tahap adalah 4 dan total skor tertinggi adalah 16.


Berikut tabel yang memuat contoh deskripsi dan penskoran untuk masing-masing tahap.
Tahap Deskripsi Skor
Perencanaan/ persiapan Memuat:
topik, tujuan, bahan/alat, langkah-langkah kerja, jadwal, waktu, perkiraan data yang akan diperoleh, tempat penelitian, daftar pertanyaan atau format pengamatan yang sesuai dengan tujuan. 1- 4
Pengumpulan data Data tercatat dengan rapi, jelas dan lengkap. Ketepatan menggunakan alat/bahan 1- 4
Pengolahan data Ada pengklasifikasian data, penafsiran data sesuai dengan tujuan penelitian. 1- 4
Penyajian data/ laporan Merumuskan topik, merumuskan tujuan penelitian, menuliskan alat dan bahan, menguraikan cara kerja (langkah-langkah kegiatan)
Penulisan laporan sistematis, menggunakan bahasa yang komunikatif. Penyajian data lengkap, memuat kesimpulan dan saran. 1- 4
Total Skor

e. Data Penilaian Produk
Data penilaian produk diperoleh dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pembuatan (produk), dan tahap penilaian (appraisal).
Contoh tabel penilaian analitik dan penskorannya.

Tahap Deskripsi Skor
Persiapan Kemampuan merencanakan seperti:
• menggali dan mengembangkan gagasan;
• mendesain produk, menentukan alat dan bahan 1-10
Pembuatan Produk • Kemampuan menyeleksi dan menggunakan bahan;
• Kemampuan menyeleksi dan menggunakan alat;
• Kemampuan menyeleksi dan menggunakan teknik; 1-10
Penilaian produk • Kemampuan peserta didik membuat produk sesuai kegunaan/fungsinya;
• Produk memenuhi kriteria keindahan. 1-10
Kriteria penskoran:
• menggunakan skala skor 0 – 10 atau 1 – 100;
• semakin baik kemampuan yang ditampilkan, semakin tinggi skor yang diperoleh.
f. Data penilaian Portofolio
Data penilaian portofolio peserta didik didasarkan dari hasil kumpulan informasi yang telah dilakukan oleh peserta didik selama pembelajaran berlangsung. Komponen penilaian portofolio meliputi: (1) catatan guru, (2) hasil pekerjaan peserta didik, dan (3) profil perkembangan peserta didik. Hasil catatan guru mampu memberi penilaian terhadap sikap peserta didik dalam melakukan kegiatan portofolio. Hasil pekerjaan peserta didik mampu memberi skor berdasarkan kriteria (1) rangkuman isi portofolio, (2) dokumentasi/data dalam folder, (3) perkembangan dokumen, (4) ringkasan setiap dokumen, (5) presentasi dan (6) penampilan. Hasil profil perkembangan peserta didik mampu memberi skor berdasarkan gambaran perkembangan pencapaian kompetensi peserta didik pada selang waktu tertentu. Ketiga komponen ini dijadikan suatu informasi tentang tingkat kemajuan atau penguasaan kompetensi peserta didik sebagai hasil dari proses pembelajaran.
Berdasarkan ketiga komponen penilaian tersebut, guru menilai peserta didik dengan menggunakan acuan patokan kriteria yang artinya apakah peserta didik telah mencapai kompetensi yang diharapkan dalam bentuk persentase (%) pencapaian atau dengan menggunakan skala 0 – 10 atau 0 - 100. Pensekoran dilakukan berdasarkan kegiatan unjuk kerja, dengan rambu-rambu atau kriteria penskoran portofolio yang telah ditetapkan. Skor pencapaian peserta didik dapat diubah ke dalam skor yang berskala 0 -10 atau 0 – 100 dengan patokan jumlah skor pencapaian dibagi skor maksimum yang dapat dicapai, dikali dengan 10 atau 100. Dengan demikian akan diperoleh skor peserta didik berdasarkan portofolio masing-masing.

K. Data Penilaian Diri
Data penilaian diri adalah data yang diperoleh dari hasil penilaian tentang kemampuan, kecakapan, atau penguasaan kompetensi tertentu, yang dilakukan oleh peserta didik sendiri, sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

L. Interpretasi Hasil Penilaian dalam Menetapkan Ketuntasan Belajar
Penilaian dilakukan untuk menentukan apakah peserta didik telah berhasil menguasai suatu kompetensi mengacu ke indikator. Penilaian dilakukan pada waktu pembelajaran atau setelah pembelajaran berlangsung. Sebuah indikator dapat dijaring dengan beberapa soal/tugas.
Kriteria ketuntasan belajar setiap indikator dalam suatu kompetensi dasar (KD) ditetapkan antara 0% – 100%. Kriteria ideal untuk masing-masing indikator lebih besar dari 60%. Namun sekolah dapat menetapkan kriteria atau tingkat pencapaian indikator, apakah 50%, 60% atau 70%. Penetapan itu disesuaikan dengan kondisi sekolah, seperti tingkat kemampuan akademis peserta didik, kompleksitas indikator dan daya dukung guru serta ketersediaan sarana dan prasarana. Namun, kualitas sekolah akan dinilai oleh pihak luar secara berkala, misalnya melalui ujian nasional. Hasil penilaian ini akan menunjukkan peringkat suatu sekolah dibandingkan dengan sekolah lain (benchmarking). Melalui pemeringkatan ini diharapkan sekolah terpacu untuk meningkatkan kualitasnya, dalam hal ini meningkatkan kriteria pencapaian indikator semakin mendekati 100%.
Apabila nilai peserta didik untuk indikator pencapaian sama atau lebih besar dari kriteria ketuntasan, dapat dikatakan bahwa peserta didik itu telah menuntaskan indikator itu. Apabila semua indikator telah tuntas, dapat dikatakan peserta didik telah menguasai KD bersangkutan. Dengan demikian, peserta didik dapat diinterpretasikan telah menguasai SK dan mata pelajaran. Apabila jumlah indikator dari suatu KD yang telah tuntas lebih dari 50%, peserta didik dapat mempelajari KD berikutnya dengan mengikuti remedial untuk indikator yang belum tuntas. Sebaliknya, apabila nilai indikator dari suatu KD lebih kecil dari kriteria ketuntasan, dapat dikatakan peserta didik itu belum menuntaskan indikator itu. Apabila jumlah indikator dari suatu KD yang belum tuntas sama atau lebih dari 50%, peserta didik belum dapat mempelajari KD berikutnya.

Contoh penghitungan nilai kompetensi dasar dan ketuntasan belajar pada suatu mata pelajaran.

Kompetensi Dasar Indikator Kriteria Ketuntasan Nilai peserta didik Ketuntasan
Menganalisis dinamika dan kecenderungan perubahan litosfer dan pedosfer serta dampaknya terhadap kehidupan dimuka bumi 1. Menganalisis keterkaitan teori tektonik lemeng terhadap persebaran gunung api, gempa bumi dan pembentukan relief muka bumi
2. Mengidentifikasi ciri bentang lahan sebagai akibat proses pengikisan dan pengendapan
3. Mengidentifikasi degradasi lahan dan dampaknya terhadap kehidupan
60%




60%



50% 60




59



59 Tuntas




Tidak Tuntas


Tuntas



Menganalisis atmosfer dan dampaknya terhadap kehidupan di muka bumi 1. Mengidentifikasi ciri-ciri lapisan atmosfer dan pemanfaatannya
2. Menganalisis unsur-unsur cuaca dan iklim (penyinaran, suhu, angin, kelembaban, awan, curah hujan)
3. Mengklasifikasikan berbagai tipe iklim
60%

70%



60% 61

80



90 Tuntas

Tuntas



Tuntas


Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa nilai indikator pada kompetensi dasar 1 cenderung 60. Jadi nilai kompetensi dasar 1 adalah 60 atau 6. Nilai indikator pada kompetensi dasar ke 2 bervariasi, sehingga dihitung nilai rata-rata indikator. Jadi nilai kompetensi dasar ke 2 :

Pada kompetensi dasar 1, indikator ke- 2 belum tuntas. Jadi peserta didik perlu mengikuti remedial untuk indikator tersebut.

M. PEMANFAATAN DAN PELAPORAN HASIL PENILAIAN KELAS

Penilaian kelas menghasilkan informasi pencapaian kompetensi peserta didik yang dapat digunakan antara lain: (1) perbaikan (remedial) bagi peserta didik yang belum mencapai kriteria ketuntasan, (2) pengayaan bagi peserta didik yang mencapai kriteria ketuntasan lebih cepat dari waktu yang disediakan, (3) perbaikan program dan proses pembelajaran, (4) pelaporan, dan (5) penentuan kenaikan kelas.
Peserta didik dinyakan tidak naik kelas apabila: 1) memperoleh nilai kurang dari kategori baik pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia 2) Jika peserta didik tidak menuntaskan 50 % atau lebih KD dan SK lebih dari 3 mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran sampai pada batas akhir tahun ajaran, dan 3) Jika karena alasan yang kuat, misal karena gangguan kesehatan fisik, emosi atau mental sehingga tidak mungkin berhasil dibantu mencapai kompetensi yang ditargetkan.
Untuk memudahkan administrasi, peserta didik yang tidak naik kelas diharapkan mengulang semua mata pelajaran beserta SK, KD, dan indikatornya dan sekolah mempertimbangkan mata pelajaran, SK, KD, dan indikator yang telah tuntas pada tahun ajaran sebelumnya.
Apabila setiap anak bisa dibantu secara optimal sesuai dengan keperluannya mencapai kompetensi tertentu, maka tidak perlu ada anak yang tidak naik kelas (automatic promotion). Automatic promotion apabila semua indikator, kompetensi dasar (KD), dan standar kompetensi (SK) suatu mata pelajaran telah terpenuhi ketuntasannya, maka peserta didik dianggap layak naik ke kelas berikutnya.


N. MEKANISME PENENTUAN NAIK KELAS DAN TINGGAL KELAS
1. Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun
2. Siswa dinyatakan naik kelas, apabila yang bersangkutan telah mencapai kriteria ketuntasan minimal pada semua indikator, hasil belajar (HB), kompetensi dasar (KD), dan standar kompetensi (SK) pada semua mata pelajaran.
3. Siswa dinyatakan harus mengulang di kelas yang sama bila, a) memperoleh nilai kurang dari kategori baik pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia b) Jika peserta didik tidak menuntaskan KD dan SK lebih dari 3 mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran sampai pada batas akhir tahun ajaran, dan c) Jika karena alasan yang kuat, misal karena gangguan kesehatan fisik, emosi atau mental sehingga tidak mungkin berhasil dibantu mencapai kompetensi yang ditargetkan.
4. Ketika mengulang di kelas yang sama, nilai siswa untuk semua indikator, KD, dan SK yang ketuntasan belajar minimumnya sudah dicapai, minimal sama dengan yang dicapai pada tahun sebelumnya.
---------
DAFTAR PUSTAKA

Forster, Margaret, dan Masters, G. (1996). Portfolios Assessment Resource Kit. Camberwell, Melborne: The Australian Council for Educational Research Ltd.

Forster, Margaret, dan Masters, G. (1996). Project Assessment Resource Kit. Camberwell, Melborne: The Australian Council for Educational Research Ltd.

Forster, Margaret, dan Masters, G. (1998). Product Assessment Resource Kit. Camberwell, Melborne: The Australian Council for Educational Research Ltd.

Forster, Margaret, dan Masters, G. (1996). Performance Assessment Resource Kit. Camberwell, Melborne: The Australian Council for Educational Research Ltd.

Forster, Margaret, dan Masters, G. (1999). Paper amd Pen Assessment Resource Kit. Camberwell, Melborne: The Australian Council for Educational Research Ltd.

Gronlund, E. Norman. (1982). Constructing Achievement Tests. London: Prentice Hall.

Linn, R.L., dan Gronlund, N.E. (1995). Measurement and Assessment in Teaching. New Jersey: Prentice Hall.

Popham, W.J. (1995) Classroom Assessment, What Teachers Need to Know. Boston: Allyn & Bacon.